Www.BestTheme.Net

WELCOME

To

SUNSET

Blog buat para petualang sejati ..selamat jalan kawaan semoga berjumpa kembali .. sahabat jadilah kekasihku ..hidup dengan segala ide !

come and gabung

Share it !

Powered By Blogger

Followers

Latest Photos

think !

think !

New Photos

soosuu

Your Slideshow Title Slideshow: Ndi’s trip from Jakarta, Java, Indonesia to was created by TripAdvisor. See another Indonesia slideshow. Create a free slideshow with music from your travel photos.

lips so!

lips so!

Introduce.,

Introduce.,

Fenomena serat darmo GAndUl(Memayu Hayuning Bhawono)

made in Unknown Selasa, Januari 04, 2011



1. Serat Dharmogandul adalah suatu Cerita Fiksi ( Bukan Catatan Sejarah ) hanya mengambil Setting Akhir dari Era Majapahit. Semua cerita Fiksi jelas
diragukan kebenarannya.

2. Serat Dharmogandul ditulis jaman keraton Surakarta atau sekitar tahun 1900, padahal runtuhnya majapahit adalah tahun 1400, jadi ada perbedaan 500 tahun. Sehingga penulisnya bukan "saksi mata". jadi diragukan kebenarannya

3. Penulis Serat Dharmogandul adalah tidak jelas siapa orangnya. hanya disebut sebagai KALAM WADI atau artinya "pembicara rahasia", artinya Penulisnya adalah "penegcut" tidak berani bertanggung jawab. Berbeda dengan sumber-sumber catatan sejarah misalnya KItab PARARATON, Negara Kertagama, adalah sumber-sumber resmi catatan sejarah, meski masih ada dibumbui dengan cerita yang bersifat LEGENDA.

4. Penulis KItab Serat DHARMOGANDUL adalah terlihat TENDENSIUS, rasa "cemburu" atas kejayaan Islam, sehingga mengarang Cerita ANTAGONIS dan FIKSI, dan berusaha membelokkan Islam, Misalnya ketika mengartikan kata "BAITULLAH di MAKAH atau BAIT ALLAH, jelas kata BAIT adalah berarti Rumah, tetapi dalam serat DHARMOGANDUL kata BAIT diartikan menjadi BAITO atau PERAHU. Karena dalam bahasa Jawa, PERAHU adalah BAITO. Jadi BAITULLAH bukan RUMAH ALLAH tetapi diartikan menjadi PERAHU ALLAH

5. Kejadian yang ditulis oleh DHARMOGANDUL jelas bertentangan dengan FAKTA sejarah, misalnya dalam Dharmogandul, BRAWIJAYA V adalah hendak dibunuh oleh adipati DEMAK, padahal dalam catatan sejarah, BRAWIJAYA V dihancurkan oleh Pemberontakan GIRINDHAWARDHANA. GIRINDHAWARDHANA adalah anak SUPRABA yang dahulu diusir oleh BHRAWIJAYA dan melarikan diri ke KEDIRI.. Girindhawardhana ini adalah RAJA MAJAPAHIT yang memerintah tahun 1474-1498. Girindhawardhana inilah yang memindahkan MAJAPAHIT ke KEDIRI.
Ada hal-hal aneh yang bisa kita ungkap.:




1. Pertama, Kalau benar, bahwa BHRAWIJAYA dikalahkan oleh Demak, maka kenapa MAJAPAHIT dipindahkan ke kediri oleh GIRINDHAWARHANA, bukan ke DEMAK ??

2. Brawijaya V ini memiliki Istri dari Champa ( Vietnam ) yang bernama Anarawati yang beragama Islam. Pernikahan ini difasilitasi oleh Sunan Kalijaga.

3. Setelah GIRINDHAWARDHANA, masih ada Raja Majapahit terakhir yaitu HUDHARA, yang memerintah tahun 1498-1519.

Jadi fakta-fakta tersebut menurut saya, bisa mematahkan PRASANGKA dari Wirajhana.

Saya memaparkan fakta, bukan ingin 'membela ISLAM", tetapi ingin memberikan ALTERNATIF yang menurut saya "lebih benar". Karena kamu muslim selalu MENJUNJUNG TINGGI KEBENARAN, menjauhkan dari Fitnah.......

Silahkan di sangkal kalau ada yang memiliki Data LEBIH ..Pandawa dan Kurawa adalah bangsa Jat (penduduk asli India (daerah timur Punjab), pada jaman terdiri dari banyak suku di India dan belum tergabung menjadi Bharata (india)..(kira-kira 3500 tahun yang lalu)

Usaha untuk membentuk ras Bharata dimulai saat itu sebelum Perang Bratayuda, misalnya:

Dhristarastra menikah dengan Gandari (afganistan),
Bima Menikah dengan wanita suku mongol Hidimba,
Arjuna dengan Citramgada juga dengan suku mongol tapi lain suku.

Jaman itu (mahabharata) mengenal 2 sistem kekerabatan Patrilineal (Delhi, India barat laut) dan Matrilinela (india Utara(monggolia), selatan dan Benggala..hingga sekarangpun didaerah Benggala, Keralla dan Assam sistem materilineal ini masih di anut )

Poliandri, seorang wanita banyak suami
Droupadi(nama aslinya Krsna) berasal dari daerah Monggol di India Utara yang menganut paham Poliandri. Sampai sekarangpun sistem ini masih dipakai di Tibet dan Laddakh(india)

Poligami, Seorang lelaki banyak istri dianut oleh Bangsa Arya

Kedua Paham ini juga dianut pada jaman Mahabarata dan tercantum pada Kitab Charya'carya ananda marga tentang aturan sosial ketidakseimbangan jumlah laki dan perempuan untuk menyambung keturunan yang tercermin pada Poligami atau Poliandri

Droupadi menemui ajalnya ketika berjalan mendekati gunung Himavat di Himachal Pradesh ia terjatuh dan tewas.
Bima bertanya kepada Yudistira: "Mengapa ia tidak bisa melanjutkan perjalannanya??"
Puntadewa/Yudistira, menjawab : "Bhima, wanita yang benar2 suci haruslah tertarik pada suaminya saja. Ia tidak boleh tertarik pada orang lain. Droupadi mempunyai 5 suami, ia harusnya membagi cintanya itu kepada lima suaminya, karena ia melakukan pelanggaran itu (ia lebih tertarik kepada arjuna dan selalu mengatakan Ia adalah istri Arjuna) itulah sebabnya kenapa ia jatuh!"
Sumber:Kuliah Mahabarata, Shrii shrii anandamurti (1967-1968)

Mahabarata samasekali tidak berhubungan dengan Islam,
Cerita ini hanya digunakan oleh wali pada jaman tersebut untuk memurtadkan jawa..

Tidak benar Islam masuk tanpa kekerasan di Jawa, buktinya:
Terdapat usaha usaha pembunuhan Raja Brawijaya oleh adipati demak yang masih anak raja yang dihasut oleh Sunan Bonang dan Sunan Giri (karena kratonnya yang dibangun tidak memberi upeti selama 2 tahun di hancurkan oleh Raja Majapahit dan merusak tanah kertosono)
Pembunuhan terhadap Syech Siti Jenar yang tidak setuju membunuh Raja Majapahit..


Sebagian besar aliran kebatinan berpegang teguh pada kitab-kitab yang dianggap suci dan disucikan, yaitu kitab Darmo Gandul, Gatoloco, dan Hidayat Jati. Bila dikaji secara mendalam, kitab Darmo Gandul dan Gatoloco isinya bukan semata-mata sinkritisme, mencari kesamaan dan persamaan di antara ajaran agama-agama, seperti Hindu, Budha, dan Islam, melainkan membuat penafsiran dan penakwilan ajaran agama Islam. Dalam buku Darmo Gandul, misalnya, terdapat kesan bahwa zikir cara Budha itu lebih daripada zikir cara Islam. Dan, berikut sedikit uraian tentang buku Darmo Gandul, pada sebuah pangkur yang isinya menghina Islam
1. Orang yang beragama Islam itu jahat. Buktinya, diperlakukan dengan baik-baik malah membalas dengan kejahatan.

2. Orang Islam mementingkan formalitas belaka, salat dengan gerakan-gerakan tertentu, azan dengan suara keras, doa dengan mengangkat kedua tangan (menadahkan kedua tangan) seperti orang edan (gila), berteriak-teriak lima kali dalam sehari semalam.

3. Orang Islam mengharamkan makanan-makanan yang lezat, seperti sate babi, opor monyet, gorengan cacing, kare anjing, sup tikus, bistik kodok, gulai ular, dendeng luwak, dan lain-lain. Orang Islam yang mengharamkan makanan yang lezat itu adalah keblinger.

4. Yang penting dalam Islam itu adalah syahadat, bukan shalat (sembahyang).

5. Syahadat orang Islam adalah syahadat syaringat (syariat), atau hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan, hubungan seksual itu sangat penting bagi umat Islam.

6. Permulaan surat Al-Baqarah, "Alif laam miim, dzalikal kitabu laa raiba fiihi hudal lilmuttaqin." Menurut versi Darmo Gandul artinya, ;Dzalikal ( ….disensor dan tidak dpt ditulis disini karena sangat jorok) Kitaabu laa (………….) Raiba fiihi hudan :(ditafsirkan wanita telanjang bulat )Lil muttaqin (………..)

7. Penulis Darmo Gandul kemudian menyebutkan yang dalam bahasa Indonesianya adalah, "Itu adalah bahasa Arab yang sampai ke tangan kita (Jawa), aku tafsirkan menurut interpretasi Jawa, agar artinya dapat dipahami. Artinya, bahwa bahasa Arab tersebut di pulau Jawa saya ceritakan dengan mata kebatinan sehingga seperti yang tersebut di atas."

8. Berdasarkan keterangan di atas, nampak jelas bahwa tujuan utama buku Darmo Gandul ditulis bukanlah untuk sinkritisme, melainkan untuk menghina, mencela, merendahkan, dan merongrong ajaran Islam.

9. Adapun kitab suci aliran kebatinan yang lain adalah Gatoloco. Gatoloco sendiri adalah nama kemaluan laki-laki. Di antara isi kitab tersebut telah disebutkan oleh Prof. DR. Rasyidi dalam bahasa Indonesia, yang salinannya di tulis dalam bukunya yang berjudul Islam dan Kebatinan antara lain sebagai berikut.

10. Semua barang halal asalkan diperoleh dengan cara baik, seperti babi, anjing, kucing, luwak, tikus, ular, kodok, bekicot, (keong racun), semuanya halal asal diperoleh dari cara baik, seperti membeli, diberi, atau menangkap sendiri, dan bahkan lebih halal daripada kambing, sapi, kerbau, dan yang lainnya yang diperoleh lewat mencuri.

11. Pedoman hidupku adalah bahrul qalbi, yaitu lautan hatiku untuk minum madat. Rasulullah itu bukanlah orang yang ada di Arab sana, dia sudah mati, lebih-lebih Saudi Arabia sangatlah jauh, maka orang kita menyembah Rasulullah di Arab itu tidak ada gunanya, dan aku menyembah Rasul yang ada dalam dadaku.

12. Aku ini Tuhan berada di sentrum wujud. Rasulullah adalah hatiku, agamaku adalah agama rasa.

13. Pedoman hidupku adalah bahrul qalbi yaitu lautan hatiku yang luas lagi dalam.

14. Aku selalu sembahyang, tidak pernah putus-putus, sembahyangku adalah nafsuku ini, nafsu yang dari ubun-ubun adalah sembahyangku terhadap tuhan. Nafsu yang dari mulut adalah sembahyangku untuk Muhammad saw.

15. Ada nafas yang keluar dari hidung itu adalah tali kehidupanku, oleh karena itu nafasku berbunyi Allah-Allah.

16. Qiblatku adalah diriku sendiri yang dinamakan Baitullah. Arti lafad "baitun" adalah baito (perahu, kapal) yang berarti baitullah adalah perahu buatan Allah. Sedang ka'bah hanyalah buatan nabi Ibrahim. Maka lebih bagus kapal buatan Allah daripada kapal buatan nabi Ibrahim, oleh karena itu, berkiblat dengan hati lebih baik daripada berkiblat kepada Ka’bah yang hanya buatan Nabi Ibrahim.

17. Sebelum dunia ini ada, sebelum ada binatang dan matahari, yang ada hanyalah nur Muhammad, yaitu yang berada di bintang johar yang menjadi pusar (pusat) atau wudel (bhs Jawa) Nabi Muhammad .

18. Lanang (laki-laki) artinya adalah kemaluan laki-laki.

19. Wadon (perempuan) artinya adalah kemaluan perempuan.

20. Dua kalimah syahadat artinya adalah laki-laki dan perempuan yang sedang berhubungan badan Allah artinya adalah olo (jelek) yang berarti kedua kemaluan laki-laki dan perempuan itu buruk dan jelek rupa dan bentuknya.

21. Dua kalimah syahadat menurut kebatinan artinya aku menyaksikan bahwa hidupku dan cahaya Tuhan serta rasa Nabi Muhammad adalah karena persetubu han bapak dan ibu, karena itu saya juga ingin melakukan persetubuhan itu.

22. Mekah (Makkah) artinya adalah bersetubuh, yaitu (………………)
Sama dengan Darmogandul dan Gatoloco dalam Menolak Syari’at Islam

Generasi awal penolak syari’at Islam di Jawa telah dipelopori oleh Darmogandul dan Gatoloco.

Gatoloco menolak syari’at dengan qiyas/ analog yang dibuat-buat sebagai berikut:
“Santri berkata: Engkau makan babi. Asal doyan saja engkau makan, (engkau) tidak takut durhaka."


Gatoloco berkata: "Itu betul, memang seperti yang engkau katakan, walaupun daging anjing, ketika dibawa kepadaku, aku selidiki. Itu daging anjing baik. Bukan anjing curian."

Anjing itu kupelihara dari semenjak kecil. Siapa yang dapat mengadukan aku? Daging anjing lebih halal dari daging kambing kecil. Walaupun daging kambing kalau kambing curian, adalah lebih haram. Walaupun daging anjing, babi atau rusa kalau dibeli adalah lebih suci dan lebih halal.

Itulah penolakan syari’ah dengan qiyas/ analogi yang sekenanya, yang bisa bermakna mengandung tuduhan. Untuk menolak hukum haramnya babi, lalu dibikin analog: Babi dan anjing yang dibeli lebih halal dan lebih suci dibanding kambing hasil mencuri.

Ungkapan Gatoloco yang menolak syari’at Islam berupa haramnya babi itu bukan sekadar menolak, tetapi disertai tuduhan, seakan hukum Islam atau orang Islam itu menghalalkan mencuri kambing. Sindiran seperti itu sebenarnya baru kena, apabila ditujukan kepada orang yang mengaku tokoh Islam namun mencuri kambing seperti Imam bahkan pendiri LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yakni Nur Hasan Ubaidah. Karena dia memang pernah mencuri kambing ketika di Makkah hingga diuber polisi, dan kambingnya disembunyikan di kolong tempat tidur. Tetapi zaman Gatoloco tentunya belum ada aliran Nur Hasan Ubaidah itu. Jadi Gatoloco itu (sebagaimana ditiru oleh penolak syari’ah Islam belakangan) telah melakukan dua hal:

1. Menolak syari’at Islam
2. Menuduh umat Islam sekenanya.

Penolakan syari’at Islam disertai tuduhan ada yang lebih drastis lagi, yaitu yang dilakukan oleh Darmogandul. Mari kita simak kecaman dan tuduhan Darmogandul terhadap Umat Islam berikut ini:

“Semua makanan dicela, umpamanya: masakan cacing, dendeng kucing, pindang kera, opor monyet, masakan ular sawah, sate rase (seperti luwak), masakan anak anjing, panggang babi atau babi rusa, kodok dan tikus goreng."

"Makanan lintah yang belum dimasak, makanan usus anjing kebiri, kare kucing besar, bestik gembluk (babi hutan) semua itu dikatakan haram. Lebih-lebih jika mereka melihat anjing, mereka pura-pura dirinya terlalu bersih."

"Saya mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak sudi memegang badannya atau makan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh dengan anjing di waktu malam. Baginya ini adalah halal walaupun dengan tidak pakai nikah. Inilah sebabnya mereka tak mau makan dagingnya.”


Ungkapan Darmogandul yang menuduh umat Islam sampai sedrastis itu, sebenarnya intinya sama juga.
1. Menolak syari’at Islam.
2. Menuduh secara semaunya terhadap umat Islam ataupun syari’atnya

Jadi sebenarnya polanya sama, antara penolak syari’at model lama dan model baru. Intinya ya dua perkara itu. Hanya saja kalau penolak syari’at Islam model baru, pakai putar-putar sana sini, lalu tuduhannya pun dicanggih-canggihkan. Diberondongkanlah ungkapan-ungkapan negatif terhadap umat Islam, bahkan syari’at Islam. Maka diluncurkanlah kepada umat Islam, kata-kata: inferiority complex, fikihisme, legalisme, pikiran apologetis sampai pada ungkapan fikih telah kehilangan relevansinya.

Sebenarnya Darmogandul dan Gatoloco pun telah mencari-cari perkataan yang secanggih-canggihnya untuk menuduh Umat Islam dan Syari’at Islam. Jadi ungkapan Inferiority complex yang dilontarkan orang sekarang, itu sebenarnya nilainya ya sama saja dengan ungkapan dendeng kucing, pindang kera, opor monyet yang dilontarkan orang masa lalu yaitu Darmogandul dan Gatoloco.

Masih ada satu ciri yang sama, yaitu mengembalikan istilah kepada pemaknaan secara bahasa, tetapi semaunya dan tidak sesuai dengan Islam.

Darmogandul mengatakan:
” … bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu merasa pahit dan masin."

"Adapun orang yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah, nabi terakhir, ia sesungguhnya melakukan zikir salah. Muhammad artinya Makam atau kubur, Ra su lu lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore berteriak-teriak, dada ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala ditaruh di tanah berkali-kali.”

"Di situ lafal “Allah” oleh Darmogandul diartikan Ala yaitu jahat. Lalu lafal “Muhammad” diartikan “makam” atau kuburan. Dan lafal “Rasulullah” diartikan “rasa yang salah”.

Lalu Darmogandul menuduh orang Islam sebagai orang gila, waktu pagi dan sore mereka adzan maka dibilang berteriak-teriak; sedang ketika Muslimin menjalankan shalat maka dia anggap bersedekap itu menekan dada, membaca bacaan shalat itu dia anggap bisik-nisik, sedang sujud dia anggap kepala ditaruh di tanah berkali-kali.

Demikianlah ungkapan Darmogandul. Sebenarnya banyak kata-kata dari ayat Al-Qur’an ataupun istilah Islam yang oleh Darmogandul diartikan dengan arti-arti jorok sekitar hubungan badan lelaki perempuan. Tetapi tidak usah kami kutip di sini.

Berikut ini model yang sama dari ungkapan Gatoloco:
“Baitullah, baitu artinya baito (perahu), jadi perahu buatan Allah, dalam perahu ada samodranya. Adapun Baitullah yang ada di Mekkah telah dibikin oleh Nabi Ibrahim."

"Pikirlah, baik mana kiblat bikinan manusia atau kiblat bikinan Tuhan, yakni badanku ini. Kiblatmu di Mekkah hanya buatan Nabi.”

Gatoloco mengartikan lafal “Baitullah” (Ka’bah) dengan “baito” yaitu perahu. Tetapi susunan pemaknaan itu tidak kosnisten, sehingga Gatoloco beralih kilah, tidak jadi pakai penerjemahan lewat bahasa, tetapi pilih pakai klaim, bahwa kiblat di Makkah itu bikinan manusia, Nabi Ibrahim. Sedang kiblat Gatoloco adalah badannya yang dibikin oleh Tuhan. Lantas Gatoloco dalam menolak Syari’at Islam menyuruh orang Islam berpikir, lebih baik yang mana: kiblat bikinan manusia ataukah yang bikinan Tuhan.

Maksud Gatoloco, mengartikan Baitullah dengan Ka’bah di Makkah itu salah. Yang benar, Baitullah itu adalah baito Allah, (perahu bikinan Allah) yaitu badan manusia. Sehingga orang yang berkiblat ke Ka’bah di Makkah itu disalahkan oleh Gatoloco dengan cara mengalihkan arti secara bahasa. Dan penyalahan arti itu kemudian diplesetkan ke arah yang sangat jorok-jorok, tentang hubungan badan lelaki-perempuan, tapi tidak usah saya kutip di sini.

Darmogandul dan Gatoloco itu menempuh jalan: Mengembalikan istilah kepada bahasa, kemudian bahasa itu diberi makna semaunya, lalu dari makna bikinannya itu dijadikan hujjah/ argument untuk menolak syari’at Islam.

Coba kita bandingkan dengan yang ditempuh oleh Nurcholish Madjid: Islam dikembalikan kepada al-Din, kemudian dia beri makna semau dia yaitu hanyalah agama (tidak punya urusan dengan kehidupan dunia, bernegara), lalu dari pemaknaan yang semaunya itu untuk menolak diterapkannya syari’at Islam dalam kehidupan.

Sama bukan?

Kalau dicari bedanya, maka Darmogandul dan Gatoloco menolak syari’at Islam itu untuk mempertahankan Kebatinannya, sedang Nurcholish Madjid menolak syari’at Islam itu untuk mempertahankan dan memasarkan Islam Liberal dan faham Pluralismenya. Dan perbedaan lainnya, Darmogandul dan Gatoloco adalah orang bukan Islam, sedang Nurcholish Madjid adalah orang Islam yang belajar Islam di antaranya di perguruan tinggi Amerika, Chicago, kemudian mengajar pula di perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia. Hanya saja cara-cara menolak Syari’at Islam adalah sama, hanya beda ungkapan-ungkapannya, tapi caranya sama.

Meskipun akar masalahnya sudah bisa dilacak, namun masih ada hal-hal yang perlu ditanggapi sebagaimana berikut ini.

Kutipan:
“…sudah jelas, bahwa fikih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern, memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam segala aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama.” (Artikel Nurcholish Madjid).

Tanggapan:
Kalau Gatoloco menolak syari’at dengan cara mengkambing hitamkan kambing curian, maka sekarang generasi Islam Liberal menolak syari’ah dengan meganggap fiqh sudah kehilangan relevansinya. Sebenarnya, sekali lagi, sama saja dengan Gatoloco dan Darmogandul itu tadi.

Tuduhan bahwa fiqh telah kehilangan relevansinya, itu adalah satu pengingkaran yang sejati.

Dalam kenyataan hidup ini, di masyarakat Islam, baik pemerintahnya memakai hukum Islam (sebut saja hukum fiqh, karena memang hukum praktek dalam Islam itu tercakup dalam fiqh) maupun tidak, hukum fiqh tetap berlaku dan relevan. Bagaimana umat Islam bisa berwudhu, sholat, zakat, puasa, nikah, mendapat bagian waris, mengetahui yang halal dan yang haram; kalau dia anggap bahwa fiqh sudah kehilangan relevansinya? Hatta di zaman modern sekarang ini pun, manusia yang mengaku dirinya Muslim wajib menjaga dirinya dari hal-hal yang haram. Untuk itu dia wajib mengetahui mana saja yang haram. Dan itu perinciannya ada di dalam ilmu fiqh.

Seorang ahli tafsir, Muhammad Ali As-Shobuni yang jelas-jelas menulis kitab Tafsir Ayat-ayat Hukum, Rowaai’ul Bayan, yang dia itu membahas hukum langsung dari Al-Qur’an saja masih menyarankan agar para pembaca merujuk kepada kitab-kitab fiqh untuk mendapatkan pengetahuan lebih luas lagi. Tidak cukup hanya dari tafsir ayat ahkam itu.

Kalau mau mengingkari Islam yang jangkauannya mengurusi dunia termasuk negara, mestinya cukup merujuk kepada Barat sekuler yang terkena kedhaliman pihak gereja. Tidak usah merujuk kepada kondisi Islam yang akibatnya hanya akan menuduh umat Islam, fiqh Islam, syari’at Islam dan bahkan Islam itu sendiri. Hingga terseretlah oleh hawa nafsu tanpa dilandasi paradigma ilmu: Islam disempitkan jadi al-din yang dia maknakan sebagai agama belaka alias ritual/ ubudiah belaka. Ini namanya menabrak-nabrak, hanya untuk menguat-nguatkan pendapatnya. Akibatnya justru menuduh sana-sini (unsur-unsur dalam Islam) tanpa dalil yang pasti.

Dalam hal ini, Nurcholish Madjid di samping pemikirannya sederhana, masih pula mengingkari realitas dan sejarah. Hingga Nurcholish menganggap, “sudah jelas, bahwa fikih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang.”

Sangat disayangkan, realitas yang belum hilang sama sekali dalam kenyataan, telah diingkari oleh Nurcholish Madjid. Teman sejawat Nurcholish Madjid dalam hal keliberalan, atau istilahnya waktu itu “Islam kontekstual”, yaitu Pak Munawir Sjadzali –yang pernah dijuluki sebagai trio pembaruan (Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Munawir Sjadzali) di tahun 1985-1990-an–, Pak Munawir telah berpayah-payah membuat kompilasi hukum Islam dari kitab-kitab fiqh Islam sekitar (26 kitab) dengan mengumpulkan para rektor, dosen, dan para ulama se-Indonesia untuk membuat kompilasi hukum Islam selama 2 tahun-an, dengan mengadakan studi banding ke berbagai tempat. Ternyata kini upaya Menteri Agama Munawir Sjadzali MA itu diingkari mentah-mentah oleh Nurcholish Madjid. Memang kompilasi hukum Islam itu hanya mengenai hukum keluarga (ahwalus syahsyiyah) yaitu hukum waris, hibah, sedekah, nikah , talak, dan rujuk. Namun pelaksanaan dalam pengadilan agama yang telah disahkan lewat undang-undang peradilan agama, tetap merujuk kepada hukum fiqh Islam.

Kenyataan yang masih ada di depan mata pun diingkari oleh Nurcholish Madjid. Dan setelah mengadakan pengingkaran, lalu dia nyatakan:

Kutipan:
“Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama.”

Tanggapan:
Ungkapan Nurcholish Madjid itu tidak usah manusia yang menjawab, tetapi kita serahkan kepada Allah SWT yang telah berfirman:

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maaidah: 50).

Agaknya pantas kita mengingat pepatah:
- Anak di pangkuan dilepaskan
- Beruk di hutan disusukan

Hukum Islam yang jelas dari Allah SWT, mau dia buang, sedang hukum rimba yang belum ketahuan juntrungannya mau diterapkan. Ini secara akal sudah menyalahi akal sehat. Sedang secara keyakinan sudah mengingkari hukum Allah SWT. Sehingga keyakinannya terhadap Islam pun dipertanyakan.

Barang yang masih ada di depan mata pun diingkari. Ayat yang masih tertulis di seluruh dunia pun diingkari. Dua hal ini saja sudah menjadikan lemahnya bobot pemikiran itu. Maka pantas, dulu Pak Rasyidi menyebutnya, pemikirannya itu berbahaya karena sederhana. Satu ungkapan yang perlu diresapi dengan arif.

Itu belum tentang masalah orang Hindu, Budha, Sinto oleh Nurcholish Madjid dimasukkan sebagai Ahli Kitab sebagaimana Yahudi dan Nasrani. Belum lagi tentang musyrikat (wanita musyrik, menyekutukan Tuhan) hanya dia anggap musyrikat Arab saja, bukan yang lainnya. Jadi arahnya ke mana?


Semesta ini adalah perwujudan dari Dewa yang mempunyai sifat Maha Sadar dan Maha Berkehendak. Sudah menjadi kewajiban manusia agar senantiasa berpegang pada Kewaspadaan diri dan Kesadaran diri untuk terus dapat mengamati keinginan-keinginan (liar) diri sendiri supaya tidak sia-sia dalam menjalani kehidupan. Apabila paduka memilih menyebut Nabi Muhammad Rasulullah, (maka mohon dengarkan) , seperti yang sudah dikatakan oleh Sunan Kalijaga bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah Roh yang bagaikan makam, makam dari segala gejolak batin manusia yang buruk.

Gejolak batin yang liar dan seringkali kita agung-agungkan. Bisa juga disimbolkan sebagai kuburan, kuburan dari segala kenikmatan ragawi, rasa kenikmatan raga yang berasal dari unsur tanah ini. (Muhammad atau Roh disimbolkan sebagai ) Kuburan dari segala sifat badani, sifat yang hanya ingin menikmati makanan (kenikmatan) yang enak-enak, dan sifat yang tidak merenungkan bagaimana keberadaan diri nanti pada akhirnya (jika sudah meninggal). Benarlah jikalau Muhamad (Roh) adalah makam kubur dari segala macam kecenderungan liar manusia.

Muhammad juga (bisa dilambangkan) sebagai Roh Idhofi, maksudnya Ruh yang dilapisi oleh segala kecenderungan negatif. Kecenderungan negatif yang suatu saat akan sirna kembali ke asalnya lagi (maksudnya selain bisa dianalogikan sebagai kubur/makam segala gejolak batin manusia, Muhammad/Roh juga bisa dianalogikan sebuah kesucian yang terlapisi kekotoran : Damar Shashangka). (Jadi apa yang dijelaskan Sunan Kalijaga sebenarnya sama saja dengan ajaran Buda tentang Atma atau Badan Sejati), Sekarang saya bertanya, paduka Prabhu Brawijaya memilih untuk meyakini/menganut yang mana? (Dengarkanlah lagi, oh paduka), Adam dan Hyang Brahim (Ibrahim ~ Adam leluhur manusia, Ibrahim leluhur orang Arab dan orang Israel) sama-sama ‘kebrahen’ (berkeinginan besar untuk memiliki keturunan banyak) saat mereka berdua masih hidup dulu.

Merekalah yang memperbanyak makhluk-makhluk fana, makhluk fana yang sulit menemukan ‘kesejatian’ rasa, makhluk-makhluk fana yang hanya cenderung terjebak rasa badani belaka. Makhluk fana yang disebut Muhammadun yaitu Ruh yang terlapisi kekotoran duniawi, Ruh yang menjadi kuburan dari segala macam gejolak batin yang liar. Ruh yang menurunkan Kesadaran kecil dan mewujud dalam bentuk manusia yang memiliki segala rasa ini. (Bukankah sama juga dengan kisah Manu leluhur manusia sesuai ajaran Buda?). Manakala kelak diambil kembali segala yang fana ini (yaitu badan halus yang memiliki kecenderungan liar dan badan kasar yang suka menikmati kenikmatan inderawi) oleh Yang Maha Kuasa, diri paduka yang berwujud manusia akan tinggal wujud JADI (maksudnya wujud Sejati/Ruh/Atma). Itulah wujud kita pribadi (yang sejati).

Untuk bisa terlepas dari badan halus dan badan kasar, harus dengan lantaran menjauhi segala kecenderungan buruk. Ayah dan Ibu tidak membuat wujud Sejati ini, makanya dinamakan ‘anak’ (anak ~ ana anane dhewek : ada dengan sendirinya :Damar Shashangka), mewujud dengan sendirinya, menjadi dari sesuatu yang gaib dan samar, atas kehendak Lattawalhuzza (penyebutan nama ini demi menyindir Sunan Kalijaga, dimana umat Islam sangat membenci Lattawalhuzza. Sabda Palon sengaja menghindari penyebutan Hyang Widdhi atau Brahman. Lattawalhuzza adalah nama berhala yang disembah orang Arab sebelum Islam muncul dan dianggap memiliki saham dalam penciptaan manusia. Maksud Sabda Palon sebenarnya, atas kehendak Yang Tak Tergambarkan, diri kita adalah percikan dari Yang Tergambarkan tersebut : Damar Shashangka).

Dia-lah yang meliputi segala wujud ini. Dan seluruh wujud ini semua sebenarnya adalah wujud-Nya juga. Kelak segalanya akan sirna dan kembali ditarik kepada wujud-Nya, (sesunguhnya kita ini tak ada) lantas yang paduka miliki hanya perasaan bahwa diri ini ‘ada’ dan berwujud sendiri diluar wujud-Nya, itulah pemahaman keliru yang kita bawa kemana-mana. Jika memiliki ketetapan hati yang keliru sedemikian itu, maka pada saat kematian tiba, akan menjadi Roh penasaran (demit) yang berkeliaran diatas tanah, menunggui jasadnya sendiri yang sudah busuk terkubur, sungguh sia-sia. Itulah salah satu akibat kurangnya Kesadaran dan wawasan dari sang Roh. Saat hidup dulu belum sempat memakan buah pohon Pengetahuan dan buah pohon Kesadaran, sama saja memasrahkan diri kelak jika meninggal untuk lahir manjadi setan (Roh Penasaran).

Memakan tanah atau mengharap-harap manusia lain memberikan sesajian dan mengharapkan upacara selamatan untuk kematiannya (karena hanya sesajian dan doa waktu upacara selamatan yang dilakukan keluarganya saja yang bisa memuaskan dahaga sang Roh penasaranh tersebut : Damar Shashangka), dan sebagai ucapan terima kasih, Roh semacam ini akan berusaha memenuhi permintaan anak cucunya walau sesungguhnya malah membikin kesesatan bagi mereka. Manusia yang meninggal dunia, selamat atau tidaknya tidak berdasarkan hukum Raja duniawi;. Sudah pasti suksma (badan halus) berpisah dengan Buddhi (Kesadaran Roh). Jika perbuatannya dulu penuh kebaikan, tentu akan mendapatkan kemuliaan, jika sebaliknya pasti akan mendapatkan penderitaan (jadi bukan ditentukan oleh agama atau hukum dari penguasa duniawi). (Maksud Sabda Palon, untuk memperoleh Kesejatian, harus dimulai dengan pemahaman bahwa diri ini hanyalah perwujudan-Nya, kita ini tak ada. Kemudian harus melakukan perbuatan yang baik selama hidup. Kesejatian bukan didapat dari berpindah-pindah agama seperti itu : Damar Shashangka). Sekarang jawablah jika telah meninggal anda hendak pergi kemana (sesuai ajaran yang baru anda terima)?”

Sang Prabhu menjawab, “Kembali ke asal mulaku, berasal dari Nur (Cahaya) akan kembali menuju Nur (Cahaya).”

Sabda Palon berkata lagi : “Itu pemahaman manusia bingung, hidupnya sia-sia, tidak memiliki pemahaman akan kewaspadaan diri, belum pernah memakan buah pengetahuan dan buah kesadaran, dari satu kembali menuju satu. Apa yang paduka sebutkan bukanlah kematian yang utama. Kematian dari manusia utama bisa dilambangkan dengan kalimat SATUS TELUNG PULUH (Seratus tiga puluh). Makna SATUS adalah PUTUS (Melampaui), TELU adalah TILAS (Tanpa bekas), PULUH adalah PULIH (Pulih kembali). Seluruh wujudnya rusak, akan tetapi yang rusak adalah yang melekati Roh Idhafi. Hidupnya abadi, hanya jasad kasar beserta suksma (jasad halus) yang terpisahkan dari kita.

Inilah hakikat Sahadat tanpa Ashadu (Kesaksian tanpa ada subyek maupun obyek yang dipersaksikan), wujud kita kembali menjadi bagian Roh Idhafi. Bagaikan bulan yang tenggelam, tahu kemana tepat tenggelamnya yang tepat. Demikian pula kita manusia harus tahu asal mula tempat kita sebelum menjadi manusia. Kata SURUP (Tengelam) mengandung makna SUMURUPA (Ketahuilah) awal, pertengahan dan akhir kehidupan ini. Jadilah pengembara yang waspada, jangan sampai salah saat memahami awal mula tempat kita dulu, awal mula pertama kali meenjadi manusia yang membawa SIR (Keinginan) dan CIPTA (Pikiran) ini.”

Sang Prabhu berkata : “Pikiranku aku sandarkan kepada manusia yang lebih/mulia.”

Sabda Palon berkata : “Itu sikap dari seorang manusia yang tersesat. Bagaikan benalu yang menempel pada pohon-pohon besar. Tidak percaya pada diri sendiri. Mempercayai kemuliaan orang dan menurut apa yang mereka katakan. Jika demikian halnya, paduka tak akan dapat menemukan kematian yang utama. Hanya akan mendapatkan kematian nista. Semenjak hidup sukanya menempel orang lain, mengikut, tidak mempercayai diri sendiri, kelak jika meninggal-pun akan mengalami hal serupa, menjadi Roh yang kesana-menari menempel, jika diusir lantas kebingungan, penasaran, menjadi Roh penasaran, dan mencari tempat menempel lainnya!”

Sang Prabhu berkata lagi : “Aku berasal dari kosong akan kembali kekosongan. Saat aku belum menjadi, tidak ada apa-apa, jadi kelak aku juga akan menuju kepada kosong tersebut!”

Sabda Palon menjawab, “Itu kematian manusia yang tersesat, tidak memakai iman dan ilmu (keyakinan dan pengetahuan. Sabda Palon sengaja menunjukkan istilah-istilah Arab demi menunjukkan bahwa dirinya juga memahami ajaran baru Sang Prabhu : Damar Shashangja). Hidup hanya seperti binatang, hanya sekedar mencari makan dan minum serta hanya sekedar menikmati tidur. Manusia yang demikian hanya menimbun daging, sangat bodoh. Tidak usah mencari pengetahuan kesejatian, cukup meminum air kencing saja sudah puas. Mereka menganggap kelak jika meninggal sirna juga dirinya.”

Sang Prabhu : “Aku akan menjaga pekuburan, menjaga jasadku yang sudah luluh jadi debu!”

Sabda Palon : “Itulah kematian manusia bodoh, menjadi setan kuburan, menjaga daging dipekuburan, daging yang sudah luluh menjadi tanah. Tidak memahami bahwa dirinya adalah Roh Idhafi. Itulah jawaban manusia bodoh, maaf paduka!”

Sang Prabhu menjawab lagi : “Aku akan moksha beserta ragaku!”

Sabda Palon tertawa, “ Dalam ajaran agama Rasul tidak ada tuntunan meraih moksha. Tidak ada tuntunan menarik jasad fisik, karena kebanyakan golongan mereka terlalu memanjakan kulit daging (hukum agama semata). Dan lagi moksha beserta raga itu tidak diajarkan dalam ajaran Buda. Manakala manusia mati dan tidak meninggalkan jasad, berarti tidak bisa diyakinkan apakah dia memang sudah mati atau hanya sekedar berpindah alam saja. Belum bisa dipastikan akan mewujud menjadi Roh Idhafi murni, kebanyakan hanya akan berpindah alam kealam demit (Jin).”

Jawaban Sang Prabhu : “Aku tidak akan memilih tujuan, aku tak akan berusaha, sudahlah terserah Yang Maha Kuasa saja!”

Sabda Palon : “Paduka melupakan sifat kemanusiaan paduka, apakah paduka lupa bahwa manusia dijadikan sebagai titah yang mulia. Paduka telah meninggalkan keharusan sebagai manusia. Manusia memiliki hak untuk memilih dan menolak. Lebih baik menjadi batu saja, jadi tidak perlu mencari ilmu kemuliaan untuk meraih kesempurnan kematian!”

Sang Prabhu : “Aku berkehendak pulang ke akhirat, naik surga, menghadap kepada Yang Maha Kuasa.”

INI CERITA DARI YANG PUNYA CERITA !!(Kisah mengenai berdirinya Kerajaan Islam Demak dan runtuhnya Kerajaan Majapahit yang sebenarnya. Awal mulanya Orang Jawa Meninggalkan Agama Buddha dan Beralih pada Agama Islam)Pada suatu hari bertanyalah Darmagandhul pada Kalamwadi sebagai berikut, "Asal mulanya bagaimana, kok orang Jawa meninggalkan Agama Buddha dan berubah menganut Agama Islam?")
Jawabannya Ki Kalamwadi, "Saya sendiri juga tidak begitu mengerti, tapi saya sudah pernah diberi tahu oleh guru saya, selain itu guru saya itu juga bisa dipercaya, [Beliau] menceritakan asal mulanya orang Jawa meninggalkan Agama Buddha dan berganti menganut agama Rasul (Islam).")
(Darmagandhul bertanya, "Bagaimana kalau begitu ceritanya?")Ki Kalamwadi lalu berkata lagi, "Hal ini sesungguhnya juga perlu diungkapkan agar orang yang tidak tahu asal mulanya menjadi tahu.")
(Pada zaman kuno, Kerajaan Majapahit itu namanya Kerajaan Majalengka, sedangkan nama Majapathit itu, hanya sebagai perumpamaan, tetapi bagi yang belum tahu ceritanya, Majapahit itu telah merupakan namanya semenjak awal. (1) Di Kerajaan Majapahit yang berkuasa sebagai Raja adalah Prabu Brawijaya.)(Pada saat itu, Sang Prabu sedang dimabuk asmara, ia menikah dengan Putri Cempa, (2) karena Putri Cempa itu beragama Islam, maka saat sedang berdua-duaan, Sang Putri [selalu] berbicara pada sang Raja, mengenai agama Islam. Tiap kali berkata-kata, tidak ada hal lain yang dibicarakan, selain mengagung-agungkan agama Islam, sehingga menyebabkan tertariknya hati Sang Prabu akan agama Islam.)
Tidak berama lama datanglah pengikut Putri Cempa yang bernama Sayid Rakhmat ke Majalengka. Ia minta izin pada sang raja, untuk menggelar penyebaran agama Rasul (Islam).)
(Sang Prabu juga mengabulkan apa yang diminta oleh Sayid Rakhmat itu. Sayid Rakhmat lalu mendirikan sebuah desa kecil (dukuh) di Ngampeldenta, Surabaya. Ia mengajar agama Islam di sana. Selanjutnya makin banyak para ulama dari seberang yang datang. Para ulama dan para maulana itu beramai-ramai menghadap sang raja di Majalengka, serta sama-sama meminta desa kecil di daerah pesisir.)
(Permintaan tersebut juga dikabulkan oleh Sang Raja. Lama-lama perkampungan kecil semacam itu makin menjamur, orang Jawa makin banyak yang beragama Islam.)Sayid Kramat menjadi gurunya orang-orang yang sudah menganut agama Islam. Tempat menetapnya berada di Benang (juga disebut Bonang - penterjemah) , Tuban. Sayid Kramat itu adalah pemuka agama yang berasal dari Arab, atau tempat kelahirannya Nabi Muhammad, sehingga dapat menjadi gurunya para penganut agama Islam. Banyak orang Jawa yang berguru pada Sayid Kramat. Orang Jawa di pesisir utara, baik bagian barat maupun timur, sama-sama meninggalkan agama Buddha dan berpindah masuk Islam. Dari Blambangan ke arah barat hingga Banten, banyak orang yang telah mematuhi perkataan Sayid Kramat.)Pada saat itu agama Buddha telah dianut di tanah Jawa selama seribu tahun, para penganutnya menyembah pada Budi Hawa. Budi adalah Zat dari Hyang Widdhi, sedangkan Hawa itu adalah kehendak hati. Manusia itu tidak dapat berbuat apa-apa selain berusaha menjalankan, tetapi budi yang mengubah segalanya.)
Raja Brawijaya memiliki putra dari seorang putri berkebangsaan Cina. Putranya itu lahir di Palembang, dan diberi nama Raden Patah.)(Tatkala Raden Patah sudah dewasa, ia mengunjungi ayahnya. Ia memiliki saudara lain ibu yang bernama Raden Kusen. Setibanya di Majalengka Sang Prabu bingung hatinya untuk memberi nama pada puteranya. Sebab menurut tradisi leluhur Jawa yang beragama Buddha, putra raja yang lahir di gunung, disebut Bambang.)
(Kalau menurut ibunya, namanya adalah Kaotiang, yaitu kalau dalam bahasa Arab disebut Sayid atau Sarib. Sang Prabu lalu memanggip para patih dan pegawai kerajaan. Mereka diminta pendapatnya di dalam memberikan nama bagi putranya itu. Patih berkata bahwa kalau menurut leluhur zaman dahulu, anak raja itu seharusnya diberi nama Bambang, tetapi karena ibunya berkembangsaan Cina, maka seharusnya disebut Babah, yang artinya lahirnya ada di negara lain.)(Pendapat sang patih tersebut juga disepakati oleh para pegawai kerajaan. Oleh karenanya sang raja mengumumkan bahwa putranya itu yang lahir di Palembang, diberi nama Babah Patah.
Hingga sampai sekarang, orang yang berdarah campuran Cina dan Jawa diberi nama Babah.)
(Babah Patah, takut kalau tidak mematuhi sabda bapaknya, karena itu bersikap seolah-olah senang. Padahal ia tidak benar-benar senang- senang diberi nama Babah.)
(Kemudian Babah Patah diangkat menjadi bupati di Demak, untuk mengepalai para bupati di pesisir Demak ke arah barat. Babah Patah lalu diperintahkan untuk berguru di Ngampelgadhing, yang kebetulan dikepalai oleh Kyai Ageng Ngampel.)
(Ketika waktunya telah tiba, ia pindah ke Demak, yakni ke desa Bintara. Sebetulnya Babah Patah telah beragama Islam saat di Palembang. Oleh sebab itu, tatkala telah berada di Demak, ia diperintahkan untuk melestarikan agamanya. Sedangkan Raden Kusen diangkat menjadi adipati di Terung, dan diberi gelar Raden Arya Pecattandha. (Makin lama agama Rasul makin menyebar luas, para ulama menjadi ingin memiliki gelar, dimana kemudian mereka digelari Sunan. Sunan itu artinya budi, pohon pengetahuan kesadaran pada yang baik dan buruk. Jika buah budi itu menyadari akan kebaikan, maka ia wajib menuntut ilmu lahir dan bathin. Pada saat itu para ulama masih memiliki hati yang baik, belum memiliki keinginan buruk, masih menahan diri dari makan dan tidur.)(Sang Prabu Brawijaya jadi jatuh hati, para ulama itu dikiranya Buddha, tetapi kok disebut Sunan. Tingkah laku mereka masih menahan diri dari makan dan tidur. Apabila mengikuti rasul, maka mereka [seharusnya] bukan menahan diri dari makan dan tidur, melainkan hanya menuruti hawa nafsu keinginan. Tatkala kebiasaan menahan diri dari makan dan tidur telah rusak, tetapi Prabu Brawijaya telah terlanjur memberikan angin. Makin lama agama rasul makin menyebar.)(Pada saat itu ada peristiwa-peristiwa yang aneh yang tidak masuk akal. Peristiwa-peristiwa tersebut diketahui dari ingatan semata. Apabila membaca atau mendengar, maka perlu dipertimbangkan benar dan tidaknya. Tetapi karena sampai sekarang masih ada peninggalannya, maka menurut pendapatku hal tersebut benar-benar terjadi.)
(Pada saat itu Sunan Benang bersiap-siap untuk mengunjungi Kediri, yang mengantarnya hanya dua orang sahabat. Ketika tiba di utara Kediri, yaitu di tanah Kertasana, mereka terhalang oleh air. Sungai Brantas saat itu kebetulan sedang banjir. Sunan Benang dan dua orang sahabatnya sama-sama menyeberang, dan ketika telah tiba di seberang ia mencari tahu apakah orang di sana telah beragama Islam, ataukah masih menganut agama Budi.)(Menurut Ki Bandar, orang di sana agamanya Kalang, bukan Buddha namun mirip, sedangkan agama Rasul masih sedikit sekali tersebarnya. Orang di sana yang sebagian besar beragama Kalang memuliakan Bandung Bandawasa. Bandung dianggap nabi mereka. Pada saat hari perayaan keagamaan mereka bersama-sama makan enak dan bersenang-senang di rumah. Sunan Benang berkata, "Jika begitu maka orang di sini sama- sama beragama Gedhah, Gedhah itu tidak hitam ataupun putih. Tempat ini pantas disebut Kutha Gedhah.")(Ki Bandar menjawab, "Baik, yang mulia, saya yang menjadi saksi." Tempat di bagian utara Kediri namanya mulai sekarang adalah Kutha Gedhah." Hingga saat ini masih disebut dengan Kutha Gedhah, tetapi orang jarang mengetahui asal mula nama tersebut.)(Sunan Benang berkata pada sahabatnya, "Carilah air minum di desa, sungai masih banjir dan airnya keruh. Jika diminum maka akan menyebabkan sakit perut. Selain itu sudah waktunya salat Lohor. Saya mau wudhu untuk salat")
(Salah seorang sahabatnya lalu pergi ke desa mencari air minum. Ia sampai di desa Pathuk dan menjumpai rumah yang nampaknya tidak ada prianya. Yang ada hanya seorang gadis perawan menjelang dewasa, dimana saat itu ia sedang menenun. Sahabat Sunan Benang mendekat serta berkata perlahan, "Mbok Nganten (panggilan terhadap wanita dalam bahasa Jawa), saya minta air minum yang bening dan bersih." Gadis perawan itu terkejut mendengar suara pria, ketika menoleh ia melihat seorang pria yang nampaknya mirip santri. Gadis perawan tersebut salah sangka, ia mengira orang tersebut ingin menggodanya, maka dijawabnya dengan perkataan kotor, "Anda menyeberang sungai datang kemari untuk minta air minum. Di sini tidak ada air minum, selain air kencing saya yang bening, jika Anda ingin meminumnya." ) (Sang santri yang mendengar ucapan kotor itu pergi tanpa pamit dan jalannya dicepat-cepatkan. Ia menggerutu dalam hati dan menceritakan pengalamannya di hadapan Sunan Bonang. Ketika mendengar hal itu Sunan Bonang marah sekali, ia kemudian mengucapkan sumpah serapah pada warga desa tersebut. Tempat itu dikutuk agar susah mendapatkan air, para gadisnya akan terlambat menikah dan demikian pula kaum perjakanya. Sesudah kutukan tersebut diucapkan aliran Sungai Brantas menjadi kecil. Aliran sungai yang pada mulanya besar itu menyimpang dan membanjiri desa, sawah, dan ladang. Banyak desa yang rusak karena diterjang aliran sungai yang berpindah alirannya. Sungai yang pada mulanya deras alirannya itu menjadi surut. Hingga saat ini tempat tersebut menjadi susah air serta gadis dan perjakannya terlambat menikah. Sunan Benang melanjutkan perjalanannya ke Kediri.)(Pada waktu itu ada seorang makhluk halus bernama Nyai Plencing, yakni makhluk halus yang berdiam di sumur Tanjungtani. Anak cucunya para berkeluh kesah padanya, mereka melaporkan tindakan orang bernama Sunan Benang yang kegemarannya menyiksa para makhluk halus serta memamerkan kesaktiannya. Sungai yang mengalir di Kediri dijadikan surut airnya serta berpindah alirannya ke arah lain yang tidak seharusnya. Sehingga banyak desa, hutan, sawah, dan ladang yang rusak. Semua itu akibat ulah Sunan Bonang.)
(Sunan Bonang juga mengutuk orang di sana, gadis dan perjaka akan terlambat kawin. Sunan Benang itu kegemarannya bertindak salah. Anak cucu Nyai Plencing bersama-sama memohon Nyai Plencing agar bersedia menyantet Sunan Benang sampai mati dan tidak menganggu mereka lagi. Nyai Plencing yang mendengar keluh kesan anak cucunya itu, segera pergi menjumpai Sunan Benang. Tetapi makhluk-makhluk halus tersebut tidak dapat mendekati Sunan Benang, karena tubuh mereka serasa panas terbakar.)(Makhluk-makhluk halus itu lalu lari ke Kediri. Ketika tiba di sana mereka melaporkan pada rajanya segala hal yang mereka alami. Raja makhluk halus itu berdiam di Selabale, namanya adalah Buta Locaya. Selabale itu letaknya ada di kaki gunung Wilis. Buta Locaya itu adalah patih Sri Jayabaya, dulu namanya adalah kyai Daha dan memiliki adik bernama Kyai Daka. Kyai Daha itu asal usulnya ada di Kediri. Pada saat Sri Jayabaya tiba di sana, nama Kyai Daha itu dijadikan nama negara dan ia kemudian diberi nama Buta Locaya dan dijadikan patih oleh Sang Prabu Jayabaya.)
(Buta itu artinya buteng atau bodoh, Lo itu artinya kamu, caya artinya bisa dipercaya. Sehingga Kyai Buta Locaya itu artinya bodoh, tetapi kawan yang setia dan patuh pada pimpinannya. Oleh karena itu ia dijadikan patih. Yang pertama kali bergelar kyai adalah Kyai Daha dan Kyai Daka. Kyai itu artinya mengayomi anak cucu dan orang-orang yang berada di kanan-kirinya. )(Sang raja lalu menuju ke rumah Kyai Daka. Di sana Sang Prabu Jayabaya beserta seluruh pengikut dan pengawalnya disambut dengan meriah, sehingga sang raja sangat mengasihi Kyai Daka. Nama Kyai Daka dijadikan nama desa dan selain itu ia diberi gelar Kyai Tunggulwulung serta diangkat menjadi panglima perang.)(Ketika Sang Prabu Jayabaya dan putrinya yang bernama Ni Mas Ratu Pagedhongan telah moksha, maka Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung juga ikut moksha. Ni Mas Ratu Pagedhongan menjadi ratu makhluk halus seluruh Jawa. Pusat kerajannya ada di laut selatan dan digelari Ni Mas Ratu Anginangin. Seluruh makhluk halus yang ada di lautan dan daratan serta juga kanan kiri Tanah Jawa bersama-sama takluk pada Ni Mas Ratu Anginangin. Buta Locaya kediamannya ada di Selabale, sedangkan Kyai Tunggulwulung ada di Gunung Kelut. Ia mengawasi dan dan lahar agar supaya saat lahar keluar tidak merusak desa dan lain sebagainya.)(Waktu itu Kyai Buta Locaya sedang duduk di singgasananya yang dialasi kasur permadani. Datang mengahadap patihnya bernama Megamendhung dan dua putra tertuanya juga hadir. Yang lebih tua bernama Panji Sektiguna dan adiknya bernama Sarilaut.)(Buta Locaya sangat terkejut dengan laporan Nyai Plencing mengenai tingkah polah Sunan Benang yang merusak tanah di utara Kediri. Ia mengatakan bahwa Sunan Benang yang merusak itu orang dari Tuban yang berkelana ke Kediri. Nyai Plencing mengisahkan penderitaan para makhluk halus dan manusia.)(Buta Locaya mendengar laporan Nyai Plencing itu menjadi sangat marah. Wajahnya menjadi merah padam bagaikan api. Ia segera memanggil anak-anaknya dan juga para makhluk halus jin serta peri. Ia mengajak mereka melawan Sunan Benang. Para makhluk halus itu bersiap-siap untuk perang. Mereka berjalan secepat angin, tidak berapa lama mereka tiba di utara desa Kukum, di sana Buta Locaya beralih wujud menjadi manusia yang bernama Kyai Sumbre. Ia kemudian berdiri di tengah jalan, di bawah pohon sambi, menghadang perjalanan Sunan Benang dari utara.)(Tidak lama kemudian, Sunang Bonang datang dari arah utara. Ia sudah mengetahui bahwa yang berdiri di bawah pohon itu rajanya makhluk halus yang terlah bersiap-siap untuk menganggu dirinya. Dimana hal itu diketahui dari hawa panas yang keluar dari makhluk halus tersebut. Para makhluk halus yang berjumlah banyak tersebut bersama- sama menyingkir jauh-jauh karena tidak tahan dengan hawa kekuatan Sunan Bonang. Namun Sunan Bonang juga tidak tahan berada di dekat Kyai Sumbre, karena kemanapun Sunan Bonang menyingkir, maka Kyai Sumbre ada di tempat itu pula.)(Dua orang sahabat Sunan Bonang pingsan, karena kedinginan. Mereka tidak tahan terkena hawa kekuatan Kyai Sumbre.)(Sunan Bonang menegur Kyai Sumbre, "Buta Locaya! Kamu menghadang jalanku, serta menyamar sebagai Sumbre. Apa kamu cari mati?")(Buta Locaya terkejut bukan main, karena Sunan Bonang mengetahui namanya, sehingga ia merasa ketahuan rahasianya. Lalu bertanyalah ia pada Sunan Bonang, "Darimana Anda dapat mengetahui bahwa saya adalah Buta Locaya?")(Sunan Bonang berkata, "Aku tidak tertipu, aku tahu bahwa engkau adalah rajanya para makhluk halus di Kediri, namamu adalah Buta Locaya.")
Kyai Sumbre menjawab pada Sunan Bonang, "Anda itu orang mana, kok tingkah lakunya tidak sopan, beda dengan adat istiadat Jawa. Seperti belalang saja [loncat sini loncat sana.")
(Sunan Bonang berkata lagi, "Aku orang Arab, namaku adalah Sayid Kramat, sedangkan rumah saya ada di Bonang, Tuban. Aku ke Kediri karena ingin melihat peninggalan istana Sang Prabu Jayabaya. Istana tersebut dulunya berada di mana?")
(Buta Locaya menjawab, "Di sebelah timur itu, yakni di desa Menang, semua peninggalan telah musnah, istana serta tempat pesanggrahan juga telah tiada lagi. Istana dan taman istana Bagendhawati milik Ni Mas Ratu Pagedhongan juga telah musnah, pesanggrahan Wanacatur juga telah sirna, yang tertinggal adalah nama desa itu. Semua itu musnah tertimbun tanah pasir dan lahar dari gunung Kelut.)(Sekarang saya hendak bertanya, Anda menyiksa anak cucu Adam, mengucapkan sesuatu yang tidak patut diucapkan. [Mengutuk] orang menjadi perawan dan perjaka tua, dan juga mengubah nama menjadi Kutha Gedhah, memindah aliran sungai, dan selanjutnya mengutuk bahwa di daerah ini akan susah air. Itu namanya tindakan yang tidak berguna, menyiksa orang lain yang tak bersalah, menyebabkan susahnya kehidupan orang lain. Lelaki susah menemukan jodohnya. Tindakan itu bertentangan dengan titah dari Latawalhujwa. Semua itu berasal dari kutukan Anda, begitu besarnya kesusahan orang yang kebanjiran. Sungai Kediri berubah alirannya dan menerjang desa, hutan, sawah, berapa banyak yang rusak. Sedangkan di sini, Anda kutuk selamanya susah air, sungainya surut. Anda itu hanya menyiksa orang lain yang tidak bersalah.") Nyai Ageng Ampel masih meneruskan gejolak amarahnya, "Kamu itu dijerumuskan oleh para ulama dan para Bupati. Tapi kamu koq mau menjalani, yang mendapat celaka hanya kamu sendiri, lagi pula kehilangan ayah, selama hidup namamu buruk, bisa menang perang tetapi musuh orang tua raja. Karena itu bertobatlah kepada Yang Maha Kuasa, kiraku tidak bakal memperoleh pengampunan. Pertama memusuhi ayah sendiri, kedua membelot kepada Raja, ketiga merusak kebaikan dan merusak negara tanpa tahu adat. Adipati Ponorogo dan Adipati Penging pasti tidak akan menerima rusaknya Majapahit, pasti ia akan membela kepada ayahnya, itu saja sudah berat tanggunganmu. "
Nyai Ageng tumpah-ruah meluapkan amarahnya kepada Prabu Jimbun. Setelah itu, Sang Prabu diperintahkan kembali ke Demak, serta diperintahkan agar mencari hilangnya ayahandanya. Apabila sudah bertemu dimohon pulang kembali ke Majapahit, dan ajaklah mampir ke Ampelgading. Akan tetapi apabil tidak berkenan, jangan dipaksa, karena jika sampai marah maka ia akan mengutuk, kutukannya pasti makbul.
Prabu Jimbun (Raden Patah) kembali ke Demak
Setelah Prabu Jimbun tiba di Demak, para pengikutnya menyambutnya dengan gembira dan berpesta ria. Para santri bermain rebana dan berdzikir, mengucap syukur dan sangat gembira atas kemenangan mereka dan kepulangan Sang Prabu Jimbun atau Raden Patah.
Sunan Bonang menyambut kepulangan Sang Prabu Jimbun. Sang Raja kemudian melaporkan kepada Sunan Bonang bahwa Majapahit telah jatuh, buku-buku agama Buddha sudah dibakari semua, serta melaporkan kalau ayahandanya dan Raden Gugur lolos. Patih Majapahit tewas di tengah peperangan, Putri Cempa sudah diajak menugungsi ke Bonang.
[Majapahit, pahlawan pemersatu Indonesia itu, mati ditangan Islam toh !!! Ohhh begitu toh. Gua baru tahu ! red]


Pasukan Majapahit yang sudah takhluk kemudian disuruh masuk Islam. Sunan Bonang mendengar laporan Sang Prabu Jimbun, tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ia mengatakan peristiwa itu cocok dengan perkiraan batinnya.
Sang Prabu melaporkan bahwa ia telah mampir ke Ampeldenta (pesantren Ampel Gading) untuk menghadap Eyang Nyai Ageng Ampel. Kepada Eyang Nyai Ageng Ampel ia mengatakan kalau baru saja dari Majapahit, serta memohon izin bertahta menjadi raja tanah Jawa. Akan tetapi di Ampel ia malah dimarahi dan diumpat-umpat. Ia dikatakan tidak tahu membalas kebaikan Sang Prabu Brawijaya. Akhirnya ia diperintahkan supaya mencari dan mohon ampun kepada ayahandanya. Semua kemarahan Nyai Ageng Ampel dilaporkan kepada Sunan Bonang.
Mendengar hal itu Sunan Bonang, dalam batin merasa (sedikit, red) menyesal dan bersalah karena khilaf akan kebaikan Prabu Brawijaya. Tetapi (karena gengsi dan sudah kepalang tanggung,red. ) rasa yang demikian tadi ditutupi dengan pura-pura menyalahkan Prabu Brawijaya dan Patih, karena tidak mau pindah agama Islam.
Sunan Bonang (lihat wajahnya diatas yg bengis itu !) mengatakan agar perintah Nyai Ageng Ampel tidak perlu dipikirkan benar, karena pertimbangan wanita itu pasti kurang sempurna, lebih baik penghancuran Majapahit dilanjutkan.
Jika Prabu Jimbun menuruti perintah Nyai Ampeldanta, Sunan Bonang lebih baik akan pulang ke Arab. Akhirnya Prabu Jimbun berjanji kepada Sunan Bonang untuk tidak menjalani perintah Nyai Ampel.
Sunan Bonang memerintahkan kepada Sang Prabu, jika ayahandanya memaksa pulang ke Majapahit, Sang Prabu diperintahkan menghadap dan meminta ampun akan semua kesalahannya. Akan tetapi bila beliau ingin bertahta lagi, jangan di tanah Jawa, karena pasti akan mengganggu orang yang pindah ke agama Islam. Ia disuruh bertahta di negara lain di luar Jawa. [Kurang ajar ! ]
Sunan Giri (mirip diatas !) kemudian menyambung, agar tidak menganggu pengislaman Jawa, Prabu Brawijaya dan putranya lebih baik di tenung saja. Karena membunuh orang kafir itu tidak ada dosanya. Sunan Bonang serta Prabu Jimbun sudah mengamini pendapat Sunan Giri yang demikian tadi.
(Redaksi: Kisah selanjutnya menceritakan mengenai Sunan Kalijaga yang diutus Prabu Jimbun mencari ayahnya dan membujuknya dengan cara baik-baik, mungkin dengan pertimbangan bahwa ayahnya masih memiliki kekuatan, yaitu kedua anak lainnya Adipati Ponorogo dan Adipati Penging masih berkuasa di wilayahnya masing-masing dan kalau sampai Prabu Brawijaya berhasil sampai ke Bali, maka ia dapat meminta bantuan raja Bali untuk menyerang balik. Dari sumber lain, ditemukan Sunan Kalijaga adalah seorang petapa yang sering bertapa di sekitar sungai-sungai, dan mempunyai perangai yang halus. Secara pribadi redaksi berpendapat bahwa Sunan Kalijaga adalah seorang NEGOSIATOR LICIK JUARA DUNIA!!!)
Sunan Kalijaga (lihat diatas wajah 'bastardo'nya itu !) dalam perjalanan mencari Prabu Brawijaya, hanya diantar dua sahabat. Perjalanannya terlunta-lunta. Tiap desa dihampiri untuk mencari informasi. Perjalanan Sunan Kalijaga melewati pesisir timur Pulau Jawa, menurutkan bekas jalan-jalan yang dilalui Prabu Brawijaya.
Perjalanan Prabu Brawijaya sampailah di Blambangan. Karena merasa lelah kemudian berhenti di pinggir mata air. Waktu itu pikiran Sang Prabu benar-benar gelap. Yang ada di hadapannya hanya abdi berdua, yaitu Nayagenggong dan Sabdapalon. Kedua abdi tadi tidak pernah bercanda dan memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi.
Sabdapalon, sang abdi setia & berbudi luhur
Tidak lama kemudian Sunan Kalijaga berhasil menjumpainya. Sunan Kalijaga bersujud menyembah di kaki Sang Prabu. Sang Prabu kemudian bertanya kepada Sunan Kalijaga, Quote:"Sahid! Kamu datang ada apa? Apa perlunya mengikuti aku?"
Sunan Kalijaga berkata, Quote:"Hamba diutus putra Paduka, untuk mencari dan menghaturkan sembah sujud kepada Paduka dimanapun bertemu. Beliau memohon ampun atas kekhilafannya, sampai lancang berani merebut tahta Paduka, karena terlena oleh darah mudanya [baca : karena ISLAM !] yang tidak tahu tata krama ingin menduduki tahta memerintah negeri, disembah para bupati. Sekarang putra Paduka sangat merasa bersalah.
Adapun ayahanda Raja Agung yang menaikkan dan memberi derajat Adipati di Demak, tak mungkin bisa membalas kebajikan Paduka, Kini putra Paduka ingat, bahwa Paduka lolos dari istana tidak karuan dimana tinggalnya. Karena itu putra Paduka merasa pasti akan mendapat kutukan Tuhan. Karena itulah hamba yang lemah ini diutus utk mencari dimana Paduka berada. Jika bertemu mohon kembali pulang ke Majapahit, tetaplah menjadi raja seperti sedia kala, memangku mahligai istana dijunjung para punggawa, menjadi pusaka dan pedoman yang dijunjung tinggi para anak cucu dan para sanak keluarga, dihormati dan dimintai restu keselamatan semua yang di bumi.
Jika Paduka berkenan pulang, putra Paduka akan menyerahkan tahta Paduka Raja. Putra Paduka menyerahkan hidup dan mati. Itu pun jika Paduka berkenan. Putra Paduka hanya memohon ampunan Paduka atas kekhilafan dan memohon tetap sebagai Adipati Demak saja. Adapun apabila Paduka tidak berkenan memegang tahta lagi, Paduka inginkan beristirahat dimana, menurut kesenangan Paduka, di gunung mana Paduka ingin tinggal, putra Paduka memberi busana dan makanan untuk Paduka, tetapi memohon pusaka Kraton d tanah Jawa, diminta dengan tulus."
Sang Prabu Brawijaya bersabda, Quote:"Aku sudah dengar kata-katamu, Sahid! Tetapi aku tidak gagas! Aku sudah muak bicara dengan santri! Mereka bicara dengan mata tujuh, lamis semua, maka blero matanya! Menunduk di muka tetapi memukul di belakang. Kata-katanya hanya manis di bibir, batinnya meraup pasir ditaburkan ke mata, agar buta mataku ini. Dulu-dulu aku beri hati, tapi balasannya seperti kenyng buntut ! Apa coba salahku? Mengapa negaraku dirusak tanpa kesalahan? Tanpa adat dan tata cara manusia, mengajak perang tanpa tantangan! Apakah mereka memakai tatanan babi, lupa dengan aturan manusia yang utama!"
Setelah mendengar bersabda Sang Prabu, Sunan Kalijaga merasa sangat bersalah karena telah ikut menyerang Majapahit. Ia menarik nafas dalam dan sangat menyesal. Namun yang semua telah terjadi. Maka kemudian ia berkata lembut, Quote:"Mudah-mudahan kemarahan Paduka kepada putra Paduka, menjadi jimat yang dipegang erat, diikat dipucuk rambut, dimasukkan dalam ubun-ubun, menambahi cahaya nubuwat yang bening, untuk keselamatan putra cucu Paduka semua. Karena semua telah terjadi, apalagi yang dimohon lagi, kecuali hanya ampunan Paduka. Sekarang paduka hendak pergi ke mana?"
Sang Prabu Brawijaya berkata, Quote:"Sekarang aku akan ke Pulau Bali, bertemu dengan Prabu Dewa Agung di Kelungkung. Aku akan beri tahu tingkah si Patah, menyia-nyiakan orang tua tanpa dosa, dan hendak kuminta menggalang para raja sekitar Jawa untuk mengambil kembali tahta Majapahit.
Adipati Palembang akan kuberi tahu bahwa kedua anaknya sesampai di tanah Jawa yang aku angkat menjadi Bupati, tetapi tidak tahu aturan. Ia berani memusuhi ayah dan rajanya. Aku akan minta kerelaannya untuk aku bunuh kedua anaknya sekaligus, sebab pertama durhaka kepada ayah dan kedua kepada raja.
Aku juga hendak memberitahu kepada Hongte di Cina, bahwa putrinya yang menjadi istriku punya anak laki-laki satu, tetapi tidak tahu jalan, berani durhaka kepada ayah raja. Ia juga kuminta kerelaan cucunya hendak aku bunuh, aku minta bantuan prajurit Cina untuk perang. Akan kuminta agar datang di negeri Bali. Apabila sudah siap semua prajurit, serta ingat kepada kebaikanku, dan punya belas kasih kepada orang tua ini, pasti akan datang di Bali siap dengan perlengkapan perang.
Aku ajak menyerang tanah Jawa merebut istanaku. Biarlah terjadi perang besar ayah melawan anak. Aku tidak malu, karena aku tidak memulai kejahatan dan meninggalkan tata cara yang mulia."
Sunan Kalijaga sangat prihatin. Ia berkata dalam hati, Quote:"Tidak salah dengan dugaan Nyai Ageng Ampelgading, bahwa Eyang Bungkuk masih gagah mengangkangi negara, tidak tahu diri, kulit kisut punggung wungkuk. Jika beliau dibiarkan sampai menyeberang ke Pulau Bali, pasti akan ada perang besar dan pasukan Demak pasti kalah karena dalam posisi salah, memusuhi raja dan bapa, ketiga pemberi anugerah. Sudah pasti orang jawa yang belum Islam akan membela raja tua, bersiaga mengangkat senjata. Pasti akan kalah orang Islam tertumpas dalam peperangan."
Akhirnya Sunan Kalijaga (si dajal licik ini) berkata pelan, Quote:"Aduh Gusti Prabu! Apabila Paduka nanti tiba di Bali, kemudian memanggil para raja, pasti akan terjadi perang besar. Apakah tidak sayang Negeri Jawa rusak. Sudah dapat dipastikan putra Paduka yang akan celaka, kemudian Paduka bertahta kembali menjadi raja, tapi tidak lama kemudian lengser keprabon. Tahta Jawa lalu diambil oleh bukan darah keturunan Paduka. Jika terjadi demikian ibarat serigala berebut bangkai, yang berkelahi terus berkelahi hingga tewas dan semua daging dimakan serigala lainnya."
Balas sang Prabu : Quote:"Ini semua kehendak Dewata Yang Maha Lebih. Aku ini raja binatara, menepati sumpah sejati, tidak memakai dua mata, hanya menepati satu kebenaran, menurut Hukum dan Undang-Undang para leluhur. Seumpamanya si Patah menganggap aku sebagai bapaknya, lalu ingin menjadi raja, diminta dengan baik-baik, istana tana Jawa ini akan kuberikan dengan baik-baik pula. Aku sudah tua renta, sudah kenyang menjadi raja, menerima menjadi pendeta bertafakur di gunung. Sedangkan si Patah meng-aniaya kepadaku. Pastilah aku tidak rela tanah Jawa dirajainya. Bagaimana pertanggungjawabank u kepada rakyatku di belakang hari nanti?"
Mendengar kemarahan Sang Prabu yang tak tertahankan lagi, Sunan Kalijaga merasa tidak bisa meredakan lagi, maka kemudian beliau menyembah kaki Sang Prabu sambil menyerahkan kerisnya dengan berkata, apabila Sang Prabu tidak bersedia mengikuti sarannya, maka ia mohon agar dibunuh saja, karena akan malu mengetahui peristiwa yang menjijikkan itu. [Oh, ngaku toh !]
Sang Prabu melihat tingkah Sunan Kalijaga yang demikian tadi, hatinya tersentuh juga. Sampai lama beliau tidak berkata selalu mengambil nafas dalam-dalam dengan meneteskan air mata. Berat sabdanya, Quote:"Sahid! Duduklah dahulu. Kupikirkan baik-baik, kupertimbangkan saranmu, benar dan salahnya, baik dan buruknya, karena aku khawatir apabila kata-katamu itu bohong saja. Ketahuilah Sahid! Seumpama aku pulang ke Majapahit, si Patah menghadap kepadaku, bencinya tidak bisa sembuh karena punya ayah Buda kawak kafir kufur. Lain hari lupa, aku kemudian ditangkap dikebiri, disuruh menunggu pintu belakang. Pagi sore dibokongi sembahyang, apabila tidak tahu kemudian dicuci di kolam digosok dengan ilalang kering."
Sang Prabu mengeluh kepada Sunan Kalijaga, Quote:"Coba pikirkanlah, Sahid! Alangkah sedih hatiku, orang sudah tua-renta, lemah tidak berdaya koq akan direndam dalam air."
Sunan Kalijaga (bagai ular licik) memendam senyum (kemenangan, red ) dan berkata, Quote:"Mustahil jika demikian, besok hamba yang tanggung, hamba yakin tidak akan tega putra Paduka memperlakukan sia-sia kepada Paduka. Akan halnya masalah agama hanya terserah sekehendak Paduka, namun lebih baik jika Paduka berkenan berganti syariat rasul, dan mengucapkan asma Allah. Akan tetapi jika Paduka tidak berkenan itu tidak masalah. Toh hanya soal agama. Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk jika belum paham syahadat itu juga tetap kafir namanya."

PERDEBATAN TEOLOGIS PRABU BRAWIJAYA
Sang Prabu berkata, "Syahadat itu seperti apa, aku koq belum tahu, coba ucapkan biar aku dengarkan."
Sunan Kalijaga kemudian mengucapkan syahadat, "asyhadu ala ilaha ilallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya aku bersaksi, tiada Tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa Kanjeng Nabi Muhammad itu utusan Allah. "
Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, Quote:"Manusia yang menyembah kepada angan-angan saja tapi tidak tahu sifat-Nya maka ia tetap kafir, dan manusia yang menyembah kepada sesuatu yang kelihatan mata, itu menyembah berhala namanya, maka manusia itu perlu mengerti secara lahir dan batin. Manusia mengucap itu harus paham kepada apa yang diucapkan. Adapun maksud Nabi Muhammad Rasulullah adalah itu Muhammad itu makam kuburan. Jadi badan manusia itu tempatnya sekalian rasa yang memuji badan sendiri, tidak memuji Muhammad di Arab. [O YAH ???? Dasar tukang TEPU !! ]
Badan manusia itu bayangan Dzat Tuhan. Badan jasmani manusia adalah letak rasa. Rasul adalah rasa kang nusuli. Rasa termasuk lesan, rasul naik ke surga, lullah, luluh menjadi lembut. Disebut Rasulullah itu rasa ala ganda salah. Diringkas menjadi satu Muhammad Rasulullah. Yang pertama pengetahuan badan, kedua tahu makanan. Kewajiban manusia menghayati rasa, rasa dan makanan menjadi sebutan Muhammad Rasulullah, maka sembahyang yang berbunyi ushali itu artinya memahami asalnya. Ada pun raga manusia itu asalnya dari ruh idhafi, ruh Muhamad Rasul, artinya Rasul rasa, keluarnya rasa hidup, keluar dari badan yang terbuka, karena asyhadu alla, jika tidak mengetahui artinya syahadat, tidak tahu rukun Islam maka tidak akan mengerti awal kejadian."
Sunan Kalijaga berkata banyak-banyak sampai Prabu Brawijaya berkenan pindah Islam, setelah itu minta potong rambut kepada Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya tidak mempan digunting. Sunan Kalijaga lantas berkata, Sang Prabu dimohon Islam lahir batin, karena apabila hanya lahir saja, rambutnya tidak mempan digunting. Sang Prabu kemudian berkata kalau sudah lahir batin, maka rambutnya bisa dipotong.
[sedih ... sedih ...]


Perdebatan Prabu Brawijaya dengan Sabdapalon Sang Prabu setelah potong rambut kemudian berkata kepada Sabdapalon dan Nayagenggong, Quote:"Kamu berdua kuberitahu mulai hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan memeluk agama Islam. Aku sudah menyebut nama Allah yang sejati. Kalau kalian mau, kalian berdua kuajak pindah agama rasul dan meninggalkan agama Buddha."
Sabdapalon berkata dengan sedih (shock berat), Quote:"Hamba ini Ratu Dang Hyang yang menjaga tanah Jawa, Siapa yang bertahta menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur Paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun-temurun sampai sekarang. Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa.
Hamba jika ingin tidur sampai 200 tahun. Selama hamba tidur selalu ada peperangan saudara, yang nakal membunuh manusia bangsanya sendiri. Sampai sekarang umur hamba sudah 2000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa. Tidak ada yang berubah agamanya, sejak pertama menempati agama Buddha, baru Paduka yang berani meninggalkan pedoman luhur Jawa.
Jawa artinya 'tahu'. Mau menerima berarti 'Jawan'. Kalau hanya ikut-ikutan, akan membuat celaka muksa Paduka kelak," Kata Wikutama yang kemudian disambut halilintar bersahutan

.
(Redaksi: Menurut ajaran Buddha mengenal adanya reinkarnasi, jadi Sabdapalon ini telah berkali-kali bereinkarnasi dan selalu menjadi seorang patih di tanah Jawa. Bandingkan dengan reinkarnasi dari para Lama di Tibet)
Prabu Brawijaya disindir oleh Dewata, karena mau masuk agama Islam, yaitu dengan perwujudan keadaan di dunia ditambah tiga hal: (1) rumput Jawan, (2) padi Randanunut, dan (3) padi Mriyi.
Sang Prabu bertanya, "Bagaimana niatanmu, mau apa tidak meninggalkan agama Buddha masuk agama Rasul, lalu menyebut Nabi Muhammad Rasullalah dan nama Allah Yang Sejati?"
Sabdopalon berkata dengan sedih (putus asa), Quote:"Paduka masuklah sendiri. Hamba tidak tega melihat watak sia-sia, seperti manusia Arab itu. Menginjak-injak hukum, menginjak-injak tatanan. Jika hamba pindah agama, pasti akan celaka muksa hamba kelak. Yang mengatakan mulia itu kan orang Arab dan orang Islam semua, memuji diri sendiri.
Kalau hamba mengatakan kurang ajar, memuji kebaikan tetangga mencelakai diri sendiri. Hamba suka agama lama menyebut Dewa Yang Maha Lebih. Dunia itu tubuh Dewata yang bersifat budi dan hawa, sudah menjadi kewajiban manusia itu menurut budi kehendaknya, menjadi tuntas dan tidak mengecewakan, jika menyebut Nabi Muhammad Rasulullah, artinya Muhammad itu makaman kubur, kubur rasa yang salah, hanya men-Tuhan-kan badan jasmani, hanya mementingkan rasa enak, tidak ingat karma dibelakang. Maka nama Muhammad adalah tempat kuburan sekalian rasa.
Ruh idafi artinya tubuh, jika sudah rusak kembali kepada asalnya lagi. Prabu Brawijaya nanti akan pulang kemana. Adam itu sama dengan Hyang Ibrahm, arthinya kebrahen ketika hidupnya, tidak mendapatkan rasa yang benar. Tetapi bangunnya rasa yang berwujud badan dinamai Muhammadun, tempat kuburan rasa. Jasa budi menjadi sifat manusia. Jika diambil Yang Maha Kuasa, tubuh Paduka sifatnya jadi dengan sendirinya.
Orang tua tidak membuat, maka dinamai anak, karena adanya dengan sendirinya, jadinya atas suatu yang ghaib, atas kehendak Lata wal Hujwa, yang meliputi wujud, wujudi sendiri, rusak-rusaknya sendiri, jika diambil oleh Yang Maha Kuasa, hanya tinggal rasa dan amal yang Paduka bawa ke mana saja. Jika nista menjadi setan yang menjaga suatu tempat. Hanya menunggui daging basi yang sudah luluh menjadi tanah. Demikian tadi tidak ada perlunya. Demikian itu karena kurang budi dan pengetahuannya. Ketika hidupnya belum makan buah pohon pengetahuan dan buah pohon budi. Pilih mati menjadi setan, menunggu batu mengharap-harap manusia mengirim sajian dan selamatan. Kelak meninggalkan mujizat Rahmat memberi kutukan kiamat kepada anak cucunya yang tinggal. Manusia mati tidak dalam aturan raja yang sifatnya lahiriah. Sukma pisah dengan budi, jika tekadnya baik akan menerima kemuliaan. Akan tetapi jika tekadnya buruk akan menerima siksaan. Coba Paduka pikir kata hamba itu!"
Prabu berkata "Kembali kepada asalnya, asal Nur bali kepada Nur".
Sabdapalon bertutur "Itu pengetahuan manusia yang bingung, hidupnya merugi, tidak punya pengetahuan ingat, belum menghayati buah pengetahuan dan budi, asal satu mendapat satu. Itu bukan mati yang utama. Mati yang utama itu sewu satus telung puluh. Artinya satus itu putus, telu itu tilas, puluh itu pulih, wujud kembali, wujudnya rusak, tetapi yang rusak hanya yang berasal dari ruh idhafi lapisan, bulan surup pasti dari mana asalnya mulai menjadi manusia. Surup artinya sumurup purwa madya wasana, menepati kedudukan manusia."
Sang Prabu menjawab, "Ciptaku menempel pada orang yang lebih."
Sabdopalon berkata, "Itu manusia tersesat, seperti kemladeyan menempel di pepohonan besar, tidak punya kemuliaan sendiri hanya numpang. Itu bukan mati yang utama. Tapi matinya manusia nista, sukanya hanya menempel, ikut-ikutan, tidak memiliki sendiri, jika diusir kemudian gentayangan menjadi kuntilanak, kemudian menempel kepada awal mulanya lagi." Sang Prabu berkata lagi, "Aku akan kembali kepada yang suwung, kekosongan, ketika aku melum mewujud apa-apa, demikianlah tujuan kematianku kelak."
"Itu matinya manusia tidak berguna, tidak punya iman dan ilmu, ketika hidupnya seperti hewan, hanya makan, minum, dan tidur. Demikian itu hanya bisa gemuk kaya daging. Penting minum dan kencing saja, hilang makna hidup dalam mati."
Sang Prabu, "Aku menunggui tempat kubur, apabila sudah hancur luluh menjadi debu."
Sabdopalon menyambung, "Itulah matinya manusia bodoh, menjadi setan kuburan, menunggui daging di kuburan, daging yang sudah luluh menjadi tanah, tidak mengerti berganti ruh idhafi baru. Itulah manusia bodoh, ketahuliah. Terima kasih!"
Sang Prabu berkata, "Aku akan muksa dengan ragaku."
Sabdopalon tersenyum, "Kalau orang Islam terang tidak bisa muksa, tidak mampu meringkas makan badannya, gemuk kebanyakan daging. Manusia mati muksa itu celaka, karena mati tetapi tidak meninggalkan jasad. Tidak bersyahadat, tidak mati dan tidak hidup, tidak bisa menjadi ruh idhafi baru, hanya menjadi gunungan demit."
Sang Prabu, "Aku tidak punya kehendak apa-apa, tidak bisa memilih, terserah Yang Maha Kuasa."
Sabdopalon, "Paduka meninggalkan sifat tidak merasa sebagai titah yang terpuji, meninggalkan kewajiban sebagai manusia. Manusia diwenangkan untuk menolak atau memilih. Jika sudah menerima akan mati, sudah tidak perlu mencari ilmu kemuliaan mati."
Sang Prabu, "Keinginanku kembali ke akhirat, masuk surga menghadap Yang Maha Kuasa."
Sabdopalon berkata, "Akhirat, surga, sudah Paduka kemana-mana, dunia manusia itu sudah menguasai alam kecil dalam bear. Paduka akan pergi ke akhirat mana? Apa tidak tersesat? Padahal akhirat itu artinya melarat, dimana-mana ada akhirat. Bila mau hamba ingatkan, jangan sampai Paduka mendapat kemelaratan seperti dalam pengadilan negara. Jika salah menjawabnya tentu dihukum, ditangkap, dipaksa kerja berat dan tanpa menerima upah. Masuk akhirat Nusa Srenggi. Nusa artinya anusia sreng artinya berat sekali, enggi artinya kerja.
Jadi maknanya manusia dipaksa bekerja untuk Ratu Nusa Srenggi. Apa tidak celaka, manusia hidup di dunia demikian tadi, sekeluarganya hanya mendapat beras sekojong tanpa daging, sambal, sayur. Itu perumpamaan akhirat yang kelihatan nyata. Jika akhirat manusia mati malah lebih dari itu, Paduka jangan sampai pulang ke akhirat, jangan sampai masuk ke surga, malah tersesat, banyak binatang yang mengganggu, semua tidur berselimut tanah, hidupnya berkerja dengan paksaan, tidak salah dipaksa.
Paduka jangan sampai menghadap Gusti Allah, karena Gusti Allah itu tidak berwujud tidak berbentuk. Wujudnya hanya asma, meliputi dunia dan akhirat, Paduka belum kenal, kenalnya hanya seperti kenalnya cahaya bintang dan rembulan. Bertemunya cahaya menyala menjadi satu, tidak pisah tidak kumpul, jauhnya tanpa batasan, dekat tidak bertemu. Saya tidak tahan dekat apalagi Paduka, Kanjenga Nabi Musa toh tidak tahan melihat Gusti Allah. Maka Allah tidak kelihatan, hanya Dzatnya yang meliputi semua makhluk. Paduka bibit ruhani, bukan jenis malaikat. Manusia raganya berasal dari nutfah, menghadap Hyang Lata wal Hujwa. Jika sudah lama, minta yang baru, tidak bolak-balik. Itulah mati hidup.
Orang yang hidup adalah jika nafasnya masih berjalan, hidup yang langgeng, tidak berubah tidak bergeser, yang mati hanya raganya, tidak merasakan kenikmatan, maka bagi manusia Buda, jika raganya sudah tua, sukmanya pun keluar minta ganti yang baik, melebihi yang sudah tua. Nutfah jangan sampai berubah dari dunianya. Dunia manusia itu langgeng, tidak berubah-ubah, yang berubah itu tempat rasa dan raga yang berasal dari ruh idhafi.
Prabu Brawijaya itu tidak muda tidak tua, tetapi langgeng berada di tengah dunianya, berjalan tidak berubah dari tempatnya di gua hasrat cipta yang hening. Bawalah bekalmu, bekal untuk makan raga. Apapun milik kita akan hilang, berkumpul dan berpisah. Denyut jantung sebelah kiri adalah rasa, cipta letaknya di langit-langit mulut. Itu akhir pengetahuan. Pengetahuan manusia beragama Buda. Ruh berjalan lewat langit-langit mulut, berhenti di kerongkongan, keluar lewat kemaluan, hanyut dalam lautan rahmat, kemudian masuk ke gua garbha perempuan. Itulah jatuhnya nikmat di bumi rahmat. Di situ budi membuat istana baitullah yang mulia, terjadi lewat sabda kun fayakun. Di tengah rahim ibu itu takdir manusia ditentukan, rizkinya digariskan, umurnya juga dipastikan, tidak bisa dirubah, seperti tertulis dalam Lauh Mahfudz. Keberuntungan dan kematiannya tergantung pada nalar dan pengetahuan, yang kurang ikhtiarnya akan kurang beruntung pula.
Awal mula Kiblat empat Awal mula kiblat empat, yaitu timur (Wetan) barat (Kulon) selatan(Kidul) dan utara (Lor) adalah demikian. Wetan artinya wiwitan asal manusia mewujud; kulon artinya bapa kelonan; kidul artinya wstri didudul di tengah perutnya; lor artinya lahirnya jabang bayi. Tanggal pertama purnama, tarik sekali tenunan sudah selesai. Artinya pur: jumbuh, na: ana wujud; ma: madep kepada wujud. Jumbuh itu artinya lengkap, serba ada, menguasai alam besar kecil, tanggal manusia, lahir dari ibunya, bersama dengan saudaranya kakang mbarep (kakak tertua) adi ragil (adik terkecil). Kakang mbarep itu kawah, adi itu ari-ari. Saudara ghaib yang lahir bersamaan, menjaga hidupnya selama matahari tetap terbit di dunia, berupa cahaya, isinya ingat semuanya. Siang malam jangan khawatir kepada semua rupa, yang ingat semuanya, surup, dan tanggalnya pun sudah jelas, waktu dulu, sekarang atau besok, itu pengetahuan manusia Jawa yang beragama Buddha.
Raga itu diibaratkan perahu, sedangkan sukma adalah orang yang ada di atas perahu tadi, yang menunjukkan tujuannya. Jika perahunya berjalan salah arah, akhirnya perahu pecah, manusia rebah. Maka harus bertujua, senyampang perahu masih berjalan, jika tidak bertujuan hidupnya, dan matinya tidak akan bisa sampai tujuan, menepati kemanusiaannya. Jika perahu rusak maka akan pisah dengan orangnya. Artinya sukma juga pisah dengan budi, itu namanya syahadat, pisahnya kawula dengan Gusti. Sah artinya pisah dengan Dzat Tuhan, jika sudah pisah raga dan sukma, budi kemudian berganti baitullah, nafas memuji kepada Gusti. Jika pisah sukma dan budi, maka manusia harus yang waspada, ingatlah asal-usul manusia, dan wajib meminta kepada Tuhan baitullah yang baru, yang lebih baik dari yang lama.
Raga manusia itu namanya baitullah itu perahu buatan Allah, terjadi dari sabda kun fayakun. Jika perahu manusia Jawa bisa berganti baitullah lagi yang lebih baik, perahu orang Islam hidupnya tinggal rasa, perahunya sudah hancur. Jika sukma itu mati di alam dunia kosong, tidak ada manusia. Manusia hidup di dunia dari muda sampai tua. Meskupun suksma manusia, tetapi jika tekadnya melenceng, matinya tersesat menjadi kuwuk, meskupun sukmanya hewan, tetapi bisa menjelma menjadi manusia.
Ketika Batara Wisnu bertahta di Medang Kasapta, binatang hutan dan makhluk halus dicipta menjadi manusia, menjadi rakyat Sang Raja. Ketika Eyang Paduka Prabu Palasara bertahta di Gajahoya, binatang hutan dan makhluk halus juga dicipta menjadi manusia. Maka bau manusia satu dan yang lainnya berbeda-beda, baunya seperti ketika masih menjadi hewan. Serat Tapak Hyang menyebut Sastrajendra Hayuningrat, terjadi dari sabda kun, dan menyebut jituok artinya hanya puji tok.
Dewa yang membuat cahaya bersinar meliputi badan. Cahya artinya incengan aneng cengelmu. Jiling itu puji eling kepada Gusti. Punuk artinya panakna. Timbangan artinya salang. Pundak itu panduk, hidup di dunia mencari pengetahuan dengan buah kuldi, jika beroleh buah kuldi banyak, beruntungnya kaya daging, apabila beroleh buah pengetahuan banyak, bisa untuk bekal hidup, hidup langgeng yang tidak bisa mati. Tepak artinya tepa-tapa-nira, Walikat, walikaning urip. Ula-ula, ulatana, laleren gegermu kang nggligir. Sungsum artinya sungsungen. Labung, waktu Dewa menyambung umur, alam manusia itu sampungan, ingat hidup mati.
Lempeng kiwa tengen artinya tekad yang lahir batin, purwa benar dan salah, baik dan buruk. Mata artinya lihatlah batin satu, yang lurus kiblatmu, keblat utara benar satu. Tengen artinya tengenen kang terang, di dunia hanya sekedar memakai raga, tidak membuat tidak memakai. Kiwa artinya, raga iki isi hawa kekajengan, tidak wenang mengukuhi mati. Demikian itu bunyi serat tadi. Jika Paduka mencela, siapa yang membuat raga? Siapa yang memberi nama? Hanya Lata wal Hujwa, jika Paduka mencaci, Paduka tetap kafir, cela mati Paduka, tidak percaya kepada takdirGusti, dan murtad kepada leluhur Jawa semua, menempel pada besi, kayu batu, menjadi iblis menunggu tanah. Jika Paduka tidak bisa membaca sasmita yang ada di badan manusia, mati Paduka tersesat seperti kuwuk. Adapun jika bisa membaca sasmita yang ada pada raga tadi, dari manusia menjadi manusia. Disebut dalam Serat Anbiya, Kanjeng Nabi Musa waktu dahulu manusia yang mati di kubur, kemudian bangun lagi, hidupnya ganti ruh baru, ganti tempat baru.
Tuhan yang Sejati Jika Paduka memeluk agama Islam, manusia Jawa tentu kemudian Islam semua. Badan halus hamba sudah tercakup dan manunggal menjadi tunggal, lahir batin, jadi tinggal kehendak hamba saja. Adam atau wujud bisa sama, jika saya ingin mewujud, itulah wujud hamba, kehendak Adam, bisa hilang seketika. Bisa mewujud dan bisa menghilang seketika. Raga hamba itu sifat Dewa, badan hamba seluruhnya punya nama sendiri-sendiri.
Coba Paduka tunjuk, badan Sabdapalon. Semua sudah jelas, jelas sampai tidak kelihatan Sabdopalon, tinggal asma meliputi badan, tidak muda tidak tua, tidak mati tidak hidup. Hidupnya meliputi dalam matinya. Adapun matinya meliputi dalam hidupnya, langgeng selamanya."
Sang Prabu bertanya, "Di mana Tuhan yang Sejati?"
Sabdopalon berkata, " Tidak jauh tidak dekat, Paduka bayangannya. Paduka wujud sifat suksma. Sejati tunggal budi, hawa, dan badan. Tiga-tiganya itu satu, tidak terpisah, tetapi juga tidak berkumpul. Paduka itu raja mulia tenti tidak akan khilaf kepada kata-kata hamba ini."
"Apa kamu tidak mau masuk agama Islam?" tanya Prabu
Sabdopalon berkata dengan sedih, "Ikut agama lama, kepada agama baru tidak! Kenapa Paduka berganti agama tidak bertanya hamba? Apakah Paduka lupa nama hamba, Sabdapalon? Sabda artinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang. Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara hamba itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya."
"Bagaimana ini, aku sudah terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan Sahid, aku tidak boleh kembali kepada agama Buda lagi, aku malu apabila ditertawakan bumi langit."
"Iya sudah, silahkan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan."
Sunan Kalijaga kemudian berkata kepada Sang Prabu, yang isinya jangan memikirkan yang tidak-tidak, karena agama Islam itu sangat mulia.
Ia akan menciptakan air yang di sumber sebagai bukti, lihat bagaimana baunya. Jika air tadi bisa berbau wangi, itu pertanda bahwa Sang Prabu sudah mantap kepada agama Rasul, tetapi apabila baunya tidak wangi, itu pertanda jika Sang Prabu masih berpikir Buda.
Sunan Kalijaga kemudian mengheningkan cipta. Seketika air sumber menjadi berbau wangi. Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, seperti yang sudah dikatakan, bahwa Sang Prabu nyata sudah mantap kepada agama Rasul, karena air sumber baunya wangi.
Sabdopalon berkata kepada Sang Prabu, Quote:"Itu kesaktian apa? Kesaktian kencing hampa kemarin sore dipamerkan kepada hamba. Seperti anak-anak, jika hamba melawan kencing hamba sendiri.
Paduka dijerumuskan, hendak menjadi jawan, suka menurut ikut-ikutan, tanpa guna hamba asuh. Hamba wirang kepada bumi langit, malu mengasuh manusia tolol, hamba hendak mencari asuhan yang satu mata. Hamba menyesal telah mengasuh Paduka.
Jika hamba mau mengeluarkan kesaktian, air kencing hamba, kentut sekali saja, sudah wangi. Jika paduka tidak percaya, yang disebut pedoman Jawa, yang bernama Manik Maya itu hamba, yang membuat kawah air panas di atas Gunung Mahameru itu semua hamba.
Adikku Batara Guru hanya mengizinkan saja. Pada waktu dahulu tanah Jawa gonjang-ganjing, besarnya api di bawah tanah. Gunung-gunung hamba kentuti. Puncaknya pun kemudian berlubang, apinya banyak yang keluar, maka tanah Jawa keudian tidak bergoyang, maka gunung-gunung tinggi puncaknya, keluar apinya serta ada kawahnya, berisi air panas dan air tawar. Itu hamba yang membuat. Semua tadi atas kehendak Lata wal Hujwa, yang membuat bumi dan langit.
Apa cacadnya agama Buda, manusia bisa memohon sendiri kepada Yang Maha Kuasa. Sungguh jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Buda, keturunan Paduka akan celaka, Jawa tinggal Jawan, artinya hilang, suka ikut bangsa lain.
Besok tentu diperintah oleh orang Jawa yang mengerti. Coba Paduka saksikan, bulan depan bulan tidak kelihatan, biji mati tidak tumbuh, ditolak oleh Dewa. Walaupun tumbuh kecil saja, hanya untuk makanan burung, padi seperti kerikil, karena paduka yang salah, suka menyembah batu. Paduka saksikan besok tanah Jawa berubah udaranya, tambah panas jarang hujan. Berkurang hasil bumi, banyak manusia suka menipu. Berani bertindak nista dan suka bersumpah, hujan salah musim, membuat bingung para petani. Sejak hari ini hujan sudah berkurang, sebagai hukuman banyak manusia berganti agama.
Besok apabila sudah bertaubat, ingat kepada agama Buda lagi, dan kembali mau makan buah pengetahuan, Dewa kemudian memaafkan, hujan kembali seperti jaman Buda."

Sang Prabu mendengar kata-kata Sabdapalon dalam batin merasa sangat menyesal karena telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Buddha.

Lama beliau tidak berkata. Kemudian ia menjelaskan bahwa masuknya agama Islam itu karena terpikat kata putri Cempa, yang mengatakan bahwa orang agama Islam itu kelak apabila mati, masuk surga yang melebihi surganya orang kafir.
Sabdapalon berkata sambil meludah, "Sejak jaman kuno, bila laki-laki menurut perempuan, pasti sengsara, karena perempuan itu utamanya untuk wadah, tidak berwewenang memulai kehendak." Sabdapalon banyak-banyak mencaci Sang Prabu.
"Kamu cela sudah tanpa guna, karena sudah terlanjur, sekarang hanya kamu kutanya, masihkah tetapkah tekadmu? Aku masuk agama Islam, sudah disaksikan oleh si Sahid, sudah tidak bisa kembali kepada Buddha lagi."
Sabdapalon berkata bahwa dirinya akan memisahkan diri dengan beliau. Ketika ditanya perginya akan ke mana? Ia menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada di situ, hanya menepati yang namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud, anglela kalingan padang.
Sang Prabu bersumpah, besok apabila ada orang Jawa tua, berpengetahuan, yaitulah yang akan diasuh Sabdapalon. Orang Jawa akan diajari tahu benar salah. Sang Prabu hendak merangkul Sabdapalon dan Nayagenggong, tetapi kedua orang tersebut musnah. (=tiba-tiba menghilang; red: bandingkan pencapaian kedua orang ini dengan kisah para arahat pada jaman Sakyamuni Buddha)
Sang Prabu kemudian menyesal dan meneteskan air mata. Kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga, "Besok Negara Blambangan gantilah nama dengan Negara Banyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdapalon ke tanah Jawa membawa asuhannya. Adapun kini Sabdopalon masih dalam alam Ghaib."
Prabalingga karo Bangerwarih Sunan Kalijaga kemudian diperintahkan menandai air sumber, jika bau harumnya hilang, besok, orang Jawa akan meninggalkan agama Islam, kembali ke agama Kawruh.
Sunan Kalijaga kemudian membuat dua buah tabung bambu, yang satu diisi air tawar, satunya diisi air sumber. Air sumber tadi untuk pertanda, jika bau wangi hilang, orang tanah Jawa akan kembali ke agama Kawruh. Tabung setelah diisi air, kemudian ditutup daun pandan dan dibawa dua orang sahabatnya.
Prabu Brawiaya kemudian pergi, diiringkan Sunan Kalijaga dan dua orang sahabatnya. Malam harinya istirahat di Sumberwaru. Esok harinya tabung itu dibuka, airnya dicium masih wangi, kemudian segera melanjutkan perjalanan lagi agar ketika matahari tenggelam sudah sampai di Panarukan. Sang Prabu istirahat di sana.
Pagi harinya air dicium masih wangi. Sang Prabu kemudian melanjutkan perjalanan lagi. Sesudah matahari tenggelam mereka telah sampai di Besuki. Sang Prabu beristirahat di sana.
Esok harinya tabung air dicium masih berbau wangi. Sang Prabu kemudian meneruskan perjalanan sampai matahari tenggelam. Sampai di Prabalingga, disitu juga istirahat semalam.
Esok paginya air itu dilihat lagi. Air yang tawar masih enak, tetapi berbusa harum. Tetapi tinggal sedikit, karena kerap diminum di jalan. Sedangkan air sumber setelah dicium baunya menjadi bacin (=busuk), lalu dibuang.
Sang Prabu kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga, "Prabalingga di besuk namanya dua, Prabalingga dan Bangerwarih. Di sini besok menjadi tempat untuk perkumpulan orang-orang yang mencari pengetahuan kepintaran dan kebatinan. Prabalingga artinya perbawanya orang Jawa tertutup dengan perbawa tetangga."
Sang Prabu kemudian segera meneruskan perjalanan, agar dalam waktu tujuh hari sudah sampai di Ampelgading. Nyai Ageng Ambil menyambut kemudian menyembah kepada Sang Prabu sambil menangis bercucuran air mata.
Sang Prabu kemudian berkata," Jangan menangis, sudahlah semuanya sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa. Aku dan kamu hanya sekedar menjalani, semua peristiwa ini sudah ditulis dalam Lauh Mahfudz. Baik buruk jangan ditolak. Sudah kewajiban orang hidup sabar dan menerima."
Nyai Ageng Ampel kemudian berkata kepada Sang Prabu, melaporkan tingkah laku cucunya, Prabu Jimbun, seperti yang sudah diceritakan di depan. Sang Prabu kemudian memerintahkan untuk memanggil Prabu Jimbun. Nyai Ampel mengutus santri ke Demak dengan membawa surat. Sesampai di Demak, surat disampaikan kepada Sang Prabu Jimbun.
Tidak lama kemudian Prabu Jimbun berangkat menghadap ke Ampel. Putra raja Majapahit, yang bernama Raden Bondan Kejawan di Tarub, mendengar berita bahwa negara Majapahit dibedah oleh Adipati Demak, malah Sang Prabu meloloskan diri dari istana, tidak jelas ke mana larinya. Merasa tidak enak pikirnya, maka kemudian pergi ke Majapahit.
Raden Bondan Kejawan menyamar untuk mencari berita dimana ayahandanya. Sesampai di Surabaya ia mendengar berita bahwa Sang Prabu ada di Ampel, tetapi kemudian sakit. Raden Bondankejawan kemudian menghaturkan sembah bhakti.
Sang Prabu bertanya, "Siapa yang menyembah ini?"
Raden Bondan Kejawan berkata, "Hamba putra Paduka, Bondhan Kejawan."
Sang Prabu kemudian merangkul putranya. Sakitnya Sang Prabu semakin parah. Beliau merasa sudah akan pulang kepada jaman kelanggengan. Kata beliau kepada Sunan Kalijaga demikian, "Sahid, mendekatlah kemari, aku sudah akan kembali ke jaman kelanggengan, buatlah surat ke Penging dan Ponorogo. Nanti kuberi tanda tangan. Aku sudah terima hancurnya Majalengka. Jangan ada perang berebut tahtaku, semua tadi sudah kehendak Yang Maha Suci, jangan ada perang, karena hanya akan membuat kekacauan dunia. Sayangilah rakyat dan jangan merusak tanah Jawa. Menghadaplah ke Demak. Jangan ada yang memulai perang setelah aku. Kuminta kepada Yang Maha Kuasa, perangnya akan kalah."
Kembali ke Alam Kalanggengan Sunan Kalijaga kemudian menulis surat. Setelah selesai kemudian ditandatangani oleh Sang Prabu. Kemudian diberikan kepada Adipati Pengging dan Ponorogo.


Sang Prabu kemudian berkata, "Sahid, setelah aku tidak ada, pandai-pandalah kamu memelihara anak cucu-ku. Aku titip anak kecil ini. Seketurunannya asuhlah. Bila ada untungnya, besok anak ini yang bisa menurunkan bibit tanah Jawa. Dan lagi pesanku kepada kamu, apabila aku sudah kembali ke alam kalanggengan, kuburkan aku di Majapahit sebelah utara laut buatan. Adapun kuburanku kuberi nama Sastrawulan. Siarkan kabar bahwa yang dikubur di situ Raja Putri Cempa. Dan lagi pesanku, besok anak cucuku jangan sampai kawin dengan lain bangsa. Jangan sampai membuat panglima perang orang bangsa lain."
Sunan Kalijaga kemudian menjawab, "Apakah Sang Prabu tidak memberi izin kepada putra Paduka Prabu Jimbun untuk menjadi raja di tanah Jawa?"
Sang Prabu berkata, "Ya, kuberi izin, tetapi hanya berhenti tiga keturunan."
Sunan Kalijaga meminta petunjuk apa artinya nama kuburan Sang Prabu. "Sastra artinya tulisan, wulan artinya cahaya dunia. Artinya kuburanku hanya seperti cahaya rembulan. Apabila masih kemilau cahaya rembulan, nanti orang Jawa ingat bahwa kematianku sudah memeluk agama Islam. Maka kutinggikan Putri Cempa, karena aku sudah dibetinakan oleh si Patah, serta tidak dianggap laki-laki, sampai aku disia-siakan seperti ini. Maka aku hanya mengizinkan ia menjadi raja hanya dalam tiga keturunan. Karena si Patah itu dari tiga bangsa, Jawa, Cina, dan Raksasa. Maka ia tega kepada ayah serta ngawur caranya. Maka wasiatku, anak cucuku jangan kawin dengan lain bangsa, karena dalam berkasih-kasihan dengan orang lain bangsa tadi bisa merubah keyakinan. Bisa mencelakai hidup, maka aku memberi wasiat jangan mengangkat panglima perang orang yang lain bangsa. Karena akan menginjak Gustinya, dalam berperang mendua hati. Sudah Sahid, semua wasiatku tulislah."
Sang Prabu setelah bersabda demikian, tangannya kemudian bersedekap, terus wafat. Jenazahnya kemudian dikuburkan di Astana Sastrawulan Majapahit.
Sampai sekarang terkenal bahwa yang dikubur di situ adalah Sang Putri Cempa. Adapun sebenarnya Putri Cempa itu wafatnya di Tuban. Tepatnya kuburan di Karang Kemuning. Setelah tiga hari wafatnya Prabu Brawijaya, dikisahkan Sultan Bintara(= Raden Patah) baru datang di Ampelgading dan bertemu Nyai Ageng Ampel.
Nyai Ageng berkata, "Celaka kamu Jimbun, tidak melihat wafatnya ayahanda, jadi tidak bisa sungkem serta minta izin olehnya menjadi raja, serta minta ampunan semua kesalahan yang sudah terjadi."
Prabu Jimbun berkata kepada Nyai Ageng, ia hanya bisa pasrah kepada takdir. Barang yang sudah terlanjur hanya bisa dijalani. Sultan Demak di Ampel tiga hari dan kemudian pulang kembali ke Demak.
Diceritakan Adipati Pengging dan Ponorogo, yaitu Pangeran Handayaningrat di Pengging dan Raden Batara Katong, sudah mendengar berita bahwa negara Majapahit dibedah oleh Adipati Demak dengan menyamar menghadap kepada Sang Prabu waktu Hari Raya.
Adapun Prabu Brawijaya dan putra Raden Gugur meloloskan diri dari istana dan tidak ketahuan besembunyi dimana. Adipati Pengging dan Adipati Ponorogo sangat marah. Keduanya kemudian menyiapkan sebuah pasukan hendak menyerang Demak, membela ayah merebut tahta. Para prajurit sudah siap senjata untuk menempuh perang hanya tinggal berangkat. Tiba-tiba datang utusan dari Sang Prabu Brawijaya memberikan surat wasiat. Adipati Pengging dan Adipati Ponorogo segera menerima dan membaca surat tersebut. Surat itu kemudian disembah dengan meneteskan air mata berat. Keduanya terhenyak, marah, giginya gemeretuk, wajahnya merah seperti api, dan kata-katanya ketus menyumpah kepada ayahnya sendiri, mudah-mudahan jangan hidup lebih lama lagi, agar tidak memperpanjang rasa malu. Kedua adipati ngotot tidak mau menghadap ke Demak, karena gelap pikirannya kemudian keduanya jatuh sakit dan tidak lama kemudian meninggal.
Sekalaning Majapahit
Adapun menurut pendapat yang lain, matinya Adipati Pengging dan Ponorogo karena ditenung oleh Sunan Giri, agar jangan mengganggu di belakang hari.
Maka cerita hancurnya negeri Majapahit itu disembunyikan, tidak seimbang dengan kebesaran serta luasnya kekuasaannya. Semua itu untuk menutupi rahasia raja, seorang putra memusuhi ayahandanya. Apabila dipikirkan sangat memalukan. Sejarah hancurnya Majapahit disemukan oleh para pujangga bijaksana menjadi demikian: Quote:"Karena Karomah para wali, keris Sunan Giri ditarik keluar ribuan tawon yang menyengati orang Majapahit. Mahkota Sunan Gunung Jati Cirebon, keluar tikusnya beribu-ribu menggerogoti bekal dan pelana kuda prajurit Majapahit sehingga bubar, karena banyaknya tikus."
"Peti dari Palembang ada di tengah perang dibuka keluar demit-nya, orang Majapahit geger karena ditenung demit. Sang Prabu Brawijaya wafat mikraj."
Kemudian Kyai Kalamwadi bertutur kepada murid yang bernama Darmo Gandhul, "Namun semua tadi hanya pasemon(=kiasan) . Adapun kenyataannya, cerita hancurnya Majapahit itu seperti yang kuceritakan tadi. Negara Majapahit itu besar dan kokoh. Akan tetapi bisa rusak karena digerogoti tikus ? Biasanya tawon itu bubar karena diganggu orang. Hutan angker banyak demitnya. Bubarnya demit apabila hitannya dirusak oleh manusia untuk dibuat sawah. Tetapi apabila Majapahit rusak karena dari tikus, tawon, dan demit, SIAPA YANG PERCAYA?
Apabila orang percaya Majapahit hancur karena tikus, tawon, dan demit, itu artinya orang tadi tidak tajam pikirannya. Cerita yang demikian tadi ANEH DAN TIDAK MASUK AKAL. Tidak cocok lahir batin. Maka hanya untuk pasemon (= kiasan). Apabila diterangkan dengan jelas maka artinya membuka rahasia Majapahit. Maka hanya diberi perlambang agar orang berpikir sendiri. Adapun pasemon tadi artinya demikian:
Tikus itu wataknya remeh, tetapi lama-lama apabila dibiarkan akan berkembang biak. Artinya, para ulama awalnya ketika baru sampai di Jawa meminta perlindungan kepada Prabu Brawijaya di Majapahit. Sesudah diberi, balas merusak.
Tawon itu membawa madu yang rasanya sangat manis, senjatanya berada di anus. Adapun tempat tinggalnya di dalam tala, artinya tadinya ketika dimuka memakai kata-kata yang manis, akhirnya menyengat dari belakang. Adapun tala artinya mentala `tega' merusak Majapahit, siapa yang mendengar pasti marah.
Adapun demit diberi wadahi peti dari Palembang, setelah dibuka berbunyi menggelegar. Artinya Palembang itu mlembang, yaitu ganti agama.
Peti artinya wadah yang tertutup untuk mewadahi barang yang samar. Demit artinya samar, remit, rungsid. Demit itu juga TUKANG SANTET.
Adapun jelasnya demikian, hancurnya Negeri Majapahit disantet dengan cara samar, ketika akan menyerang tidak ada tantangan apa-apa, menyamar hanya untuk menghadap ketika hari raya grebeg. Mereka dikejutkan, Orang Majapahit tidak siap senjata, tahu-tahu Adipati Terung sudah membantu Adipati Demak.
Sejak Jaman Kuno belum pernah ada kerajaan besar seperti Majapahit hancur dengan disengat tawon serta digerogoti tikus saja, bubarnya orang sekerajaan hanya karena disantet demit. Hancurnya Majapahit suaranya menggelegar, terdengar sampai ke negara mana-mana. Kehancuran tersebut karena diserang oleh anaknya sendiri dibantu yaitu Wali Delapan atau Sunan Delapan yang disujudi orang Jawa. Sembilannya Adipati Demak. Mereka semua memberontak dengan licik.
Keajaiban Alam Kemudian lagi kata Ki Kalamwadi, "Guruku Raden Budi Sukardi meriwayatkan sebelum Majapahit hancur, burung kuntul itu belum ada yang memakai kuncir. Setelah negara pindah ke Demak, keadaan di Jawa juga berubah. Lantas ada burung kuntul memakai kuncir.
Prabu Brawijaya disindir, Kebo kombang atine entek dimangsa tuma kinjir. Kebo artinya kerbau, yakni raja kaya, Kombang artinya diam tapi suaranya riuh, yaitu Prabu Brawijaya tak habis pikir ketika Majapahit hancur. Maksudnya diam marah saja, tidak berkenan melawan dengan perang. Adapun tuma kinjir itu kutu babi hutan. Tuma artinya tuman `terbiasa', babi hutan itu juga bernama andapan, yaitu Raden Patah ketika sampai di Majapahit bersujud kepada ayahanda Sang Prabu. Waktu itu diberi pangkat, artinya mendapat simpati dari Sang Prabu. Tapi akhirnya memerangi dan merebut tahta. Tidak berpikir benar dan salah, sampai Sang Prabu tidak habis pikir.
Adapun kuntul memakai kuncir itu pasemon Sultan Demak. Ia mengejek-ejek kepada Sang Prabu, karena agamanya Buddha kawak kafir kufur. Makanya Gusti Allah memberi pasemon gitok kuntul kunciran. Artinya lihatlah tengkukmu, ibumu putri Cina, tidak boleh menghina kepada orang lain beragama.
Sang Prabu Jimbun itu berasal dari tiga benih. Asalnya Jawa, maka Sang Prabu Jimbun besar hati menginginkan tahta raja, ingin cepat kaya sesuai sifat ibunya. Adapun berani tanpa pikir itu dari sifat Sang Arya Damar, karena Arya Damar itu ibunya putri raksasa, senang minum darah, sifatnya sia-sia. Maka ada kuntul memakai kuncir itu sudah kehendak Allah, tidak hanya Sunan Demak sendiri saja yang diperingati mengakui kesalahannya, tetapi juga para wali lainnya. Apabila tidak mau mengakui kesalahannya, dosanya lahir batin. Maka namanya wali diartikan walikan dibaiki membalas kejahatan.

CERITA DARI YANG PUNYA CERITA


APA YANG TERLIHAT TERDENGAR DAN TERASA MUNGKIN BENAR ATAUPUN TIDAK KEMBALIKAN PADA TEMPATNYA !!JADILAH MANUSIA YANG UTUH BUKAN CIPTAAN ATAUPUN HASIL KARYA DARINYA..MENGERTIKAH BUKALAH WAWASAN AGAR DAPAT MENGERTI DARI RAHASIA DI BALIK RAHASIA SEMESTA,.BE A MASTER ..

|