Www.BestTheme.Net

WELCOME

To

SUNSET

Blog buat para petualang sejati ..selamat jalan kawaan semoga berjumpa kembali .. sahabat jadilah kekasihku ..hidup dengan segala ide !

come and gabung

Share it !

Powered By Blogger

Followers

Latest Photos

think !

think !

New Photos

soosuu

Your Slideshow Title Slideshow: Ndi’s trip from Jakarta, Java, Indonesia to was created by TripAdvisor. See another Indonesia slideshow. Create a free slideshow with music from your travel photos.

lips so!

lips so!

Introduce.,

Introduce.,

Robert Nesta Marley(dreadlock)

made in Unknown Selasa, Februari 01, 2011



Terlahir dengan nama Robert Nesta Marley pada Februari 1945 di St. Ann, Jamaika, Bob Marley berayahkan seorang kulit putih dan ibu kulit hitam. Pada tahun 1950-an Bob beserta keluarganya pindah ke ibu kota Jamaika, Kingston. Di kota inilah obsesinya terhadap musik sebagai profesi menemukan pelampiasan. Waktu itu Bob Marley banyak mendengarkan musik R&B dan soul, yang kemudian hari menjadi inspirasi irama reggae, melalui siaran radio Amerika. Selain itu di jalanan Kingston dia menikmati hentakan irama Ska dan Steadybeat dan kemudian mencoba memainkannya sendiri di studio-studio musik kecil di Kingston.


Bersama Peter McIntosh dan Bunny Livingston, Bob membentuk The Wailing Wailers yang mengeluarkan album perdana di tahun 1963 dengan hit “Simmer Down”. Lirik lagu mereka banyak berkisah tentang “rude bwai” (rude boy), anak-anak muda yang mencari identitas diri dengan menjadi berandalan di jalanan Kingston. The Wailing Wailers bubar pada pertengahan 1960-an dan sempat membuat penggagasnya patah arang hingga memutuskan untuk berkelana di Amerika. Pada bulan April 1966 Bob kembali ke Jamaika, bertepatan dengan kunjungan HIM Haile Selassie I —raja Ethiopia– ke Jamaika untuk bertemu penganut Rastafari. Kharisma sang raja membawa Bob menjadi penghayat ajaran Rastafari pada tahun 1967, dan bersama The Wailer, band barunya yang dibentuk setahun kemudian bersama dua personil lawas Mc Intosh dan Livingston, dia menyuarakan nilai-nilai ajaran Rasta melalui reggae. Penganut Rastafari lantas menganggap Bob menjalankan peran profetik sebagaimana para nabi, menyebarkan inspirasi dan nilai Rasta melalui lagu-lagunya.


The Wailers bubar di tahun 1971, namun Bob segera membentuk band baru bernama Bob Marley and The Wailers. Tahun 1972 album Catch A Fire diluncurkan. Menyusul kemudian Burning (1973–berisi hits “Get Up, Stand Up” dan “ I Shot the Sheriff” yang dipopulerkan Eric Clapton), Natty Dread (1975), Rastaman Vibration (1976) dan Uprising (1981) yang makin memantapkan reggae sebagai musik mainstream dengan Bob Marley sebagai ikonnya.
Pada tahun 1978, Bob Marley menerima Medali Perdamaian dari PBB sebagai penghargaan atas upayanya mempromosikan perdamaian melalui lagu-lagunya. Sayang, kanker mengakhiri hidupnya pada 11 Mei 1981 saat usia 36 tahun di ranjang rumah sakit Miami, AS, seusai menggelar konser internasional di Jerman. Sang Nabi kaum Rasta telah berpulang, namun inspirasi humanistiknya tetap mengalun sepanjang zaman.


One Love! One Heart!
Lets get together and feel all right.
Hear the children cryin (One Love!);
Hear the children cryin (One Heart!)
(One Love / People Get Ready)

Dreadlock



Selain Bob Marley dan Jamaika, rambut gimbal atau lazim disebut “dreadlocks” menjadi titik perhatian dalam fenomena reggae. Saat ini dreadlock selalu diidentikkan dengan musik reggae, sehingga secara kaprah orang menganggap bahwa para pemusik reggae yang melahirkan gaya rambut bersilang-belit (locks) itu. Padahal jauh sebelum menjadi gaya, rambut gimbal telah menyusuri sejarah panjang.
Konon, rambut gimbal sudah dikenal sejak tahun 2500 SM. Sosok Tutankhamen, seorang fir’aun dari masa Mesir Kuno, digambarkan memelihara rambut gimbal. Demikian juga Dewa Shiwa dalam agama Hindu. Secara kultural, sejak beratus tahun yang lalu banyak suku asli di Afrika, Australia dan New Guinea yang dikenal dengan rambut gimbalnya. Di daerah Dieng, Wonosobo hingga kini masih tersisa adat memelihara rambut gimbal para balita sebagai ungkapan spiritualitas tradisional.
Membiarkan rambut tumbuh memanjang tanpa perawatan, sehingga akhirnya saling membelit membentuk gimbal, memang telah menjadi bagian praktek gerakan-gerakan spiritualitas di kebudayaan Barat maupun Timur. Kaum Nazarit di Barat, dan para penganut Yogi, Gyani dan Tapasvi dari segala sekte di India, memiliki rambut gimbal yang dimaksudkan sebagai pengingkaran pada penampilan fisik yang fana, menjadi bagian dari jalan spiritual yang mereka tempuh. Selain itu ada kepercayaan bahwa rambut gimbal membantu meningkatkan daya tahan tubuh, kekuatan mental-spiritual dan supernatural. Keyakinan tersebut dilatari kepercayaan bahwa energi mental dan spiritual manusia keluar melalui ubun-ubun dan rambut, sehingga ketika rambut terkunci belitan maka energi itu akan tertahan dalam tubuh.
Seiring dimulainya masa industrial pada abad ke-19, rambut gimbal mulai sulit diketemukan di daerah Barat. Sampai ketika pada tahun 1914 Marcus Garvey memperkenalkan gerakan religi dan penyadaran identitas kulit hitam lewat UNIA, aspek spiritualitas rambut gimbal dalam agama Hindu dan kaum tribal Afrika diadopsi oleh pengikut gerakan ini. Mereka menyebut diri sebagai kaum “Dread” untuk menyatakan bahwa mereka memiliki rasa gentar dan hormat (dread) pada Tuhan. Rambut gimbal para Dread iniah yang memunculkan istilah dreadlocks—tatanan rambut para Dread. Saat Rastafarianisme menjadi religi yang dikukuhi kelompok ini pada tahun 1930-an, dreadlocks juga menjelma menjadi simbolisasi sosial Rasta (pengikut ajaran Rastafari).
Simbolisasi ini kental terlihat ketika pada tahun 1930-an Jamaika mengalami gejolak sosial dan politik. Kelompok Rasta merasa tidak puas dengan kondisi sosial dan pemerintah yang ada, lantas membentuk masyarakat tersendiri yang tinggal di tenda-tenda yang didirikan diantara semak belukar. Mereka memiliki tatanan nilai dan praktek keagamaan tersendiri, termasuk memelihara rambut gimbal. Dreadlocks juga mereka praktekkan sebagai pembeda dari para “baldhead” (sebutan untuk orang kulit putih berambut pirang), yang mereka golongkan sebagai kaum Babylon—istilah untuk penguasa penindas. Pertengahan tahun 1960-an perkemahan kelompok Rasta ditutup dan mereka dipindahkan ke daerah Kingston, seperti di kota Trench Town dan Greenwich, tempat dimana musik reggae lahir pada tahun 1968.
Ketika musik reggae memasuki arus besar musik dunia pada akhir tahun 1970-an, tak pelak lagi sosok Bob Marley dan rambut gimbalnya menjadi ikon baru yang dipuja-puja. Dreadlock dengan segera menjadi sebuah trend baru dalam tata rambut dan cenderung lepas dari nilai spiritualitasnya. Apalagi ketika pada tahun 1990-an, dreadlocks mewarnai penampilan para musisi rock dan menjadi bagian dari fashion dunia. Dreadlock yang biasanya membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk terbentuk, sejak saat itu bisa dibuat oleh salon-salon rambut hanya dalam lima jam! Aneka gaya dreadlock pun ditawarkan, termasuk rambut aneka warna dan “dread perms” alias gaya dreadlock yang permanen.


Meski cenderung lebih identik dengan fashion, secara mendasar dreadlock tetap menjadi bentuk ungkap semangat anti kekerasan, anti kemapanan dan solidaritas untuk kalangan minoritas tertindas.
SEJARAH MUSIK REGGAE
“Musik Jamaica Pendahulu”


Menurut
sejarah Jamaica, budak yang membawa drum dari Africa disebut “Burru”
yang jadi bagian aransemen lagu yang disebut “talking drums” (drum yang
bicara) yang asli dari Africa Barat. “Jonkanoo” adalah musik budaya
campuran Afrika, Eropa dan Jamaika yang terdiri dari permainan drum,
rattle (alat musik berderik) dan conch tiup. Acara ini muncul saat
natal dilengkapi penari topeng. Jonkanoos pada awalnya adalah tarian
para petani, yang belakangan baru disadari bahwa sebenarnya mereka
berkomunikasi dengan drum dan conch itu. Tahun berikutnya, Calypso dari
Trinidad & Tobago datang membawa Samba yang berasal dari Amerika
Tengah dan diperkenalkan ke orang – orang Jamaika untuk membentuk
sebuah campuran baru yang disebut Mento. Mento sendiri adalah musik
sederhana dengan lirik lucu diiringi gitar, banjo, tambourine, shaker,
scraper dan rumba atau kotak bass. Bentuk ini kemudian populer pada
tahun 20 dan 30an dan merupakan bentuk musik Jamaika pertama yang
menarik perhatian seluruh pulaunya. Saat ini Mento masih bisa dinikmati
sajian turisme. SKA yang sudah muncul pada tahun 40 – 50an sebenarnya
disebutkan oleh History of Jamaican Music, dipengaruhi oleh Swing,
Rythym & Blues dari Amrik. SKA sebenarnya adalah suara big band
dengan aransemen horn (alat tiup), piano, dan ketukan cepat “bop”. Ska
kemudian dengan mudah beralih dan menghasilkan bentuk tarian “skankin”
pad awal 60an. Bintang Jamaica awal antara lain Byron Lee and the
Dragonaires yang dibentuk pada 1956 yang kemudian dianggap sebagai
pencipta “ska”. Perkembangan Ska yang kemudian melambatkan temponya
pada pertengahan 60an memunculkan “Rock Steady” yang punta tune bass
berat dan dipopulerkan oleh Leroy Sibbles dari group Heptones dan
menjadi musik dance Jamaika pertama di 60an.
“Reggae N Rasta”


Bob
Marley tentunya adalah bintang musik “dunia ketiga” pertama yang jadi
penyanyi group Bob Marley & The Wailers dan berhasil memperkenalkan
reggae lebih universal. Meskipun demikian, reggae dianggap banyak orang
sebagai peninggalan King of Reggae Music, Hon. Robert Nesta Marley.
Ditambah lagi dengan hadirnya “The Harder they Come” pada tahun 1973,
Reggae tambah dikenal banyak orang. Meninggalnya Bob Marley kemudian
memang membawa kesedihan besar buat dunia, namun penerusnya seperti
Freddie McGregor, Dennis Brown, Garnett Silk, Marcia Fiffths dan Rita
Marley serta beberapa kerabat keluarga Marley bermunculan. Rasta adalah
jelas pembentuk musik Reggae yang dijadikan senjata oleh Bob Marley
untuk menyebarkan Rasta keseluruh dunia. Musik yang luar biasa ini
tumbuh dari ska yang menjadi elemen style American R&B dan
Carribean. Beberapa pendapat menyatakan juga ada pengaruh : folk music,
musik gereja Pocomania, Band jonkanoo, upacara – upacara petani, lagu
kerja tanam, dan bentuk mento. Nyahbingi adalah bentuk musik paling
alami yang sering dimainkan pada saat pertemuan – pertemuan Rasta,
menggunakan 3 drum tangan (bass, funde dan repeater : contoh ada di
Mystic Revelation of Rastafari). Akar reggae sendiri selalu menyelami
tema penderitaan buruh paksa (ghetto dweller), budak di Babylon, Haile
Selassie (semacam manusia dewa) dan harapan kembalinya Afrika. Setelah
Jamaica merdeka 1962, buruknya perkembangan pemerintahan dan pergerakan
Black Power di US kemudian mendorong bangkitnya Rasta. Berbagai
kejadian monumentalpun terjadi seiring perkembangan ini.
“Apa sih Reggae”


Reggae
sendiri adalah kombinasi dari iringan tradisional Afrika, Amerika dan
Blues serta folk (lagu rakyat) Jamaika. Gaya sintesis ini jelas
menunjukkan keaslian Jamaika dan memasukkan ketukan putus – putus
tersendiri, strumming gitar ke arah atas, pola vokal yang ‘berkotbah’
dan lirik yang masih seputar tradisi religius Rastafari. Meski banyak
keuntungan komersial yang sudah didapat dari reggae, Babylon (Jamaika),
pemerintah yang ketat seringkali dianggap membatasi gerak namun bukan
aspek politis Rastafarinya. “Reg-ay” bisa dibilang muncul dari anggapan
bahwa reggae adalah style musik Jamaika yang berdasar musik soul
Amerika namun dengan ritem yang ‘dibalik’ dan jalinan bass yang
menonjol. Tema yang diangkat emang sering sekitar Rastafari, protes
politik, dan rudie (pahlawan hooligan). Bentuk yang ada sebelumnya (ska
& rocksteady) kelihatan lebih kuat pengaruh musik Afrika -
Amerika-nya walaupun permainan gitarnya juga mengisi ‘lubang – lubang’
iringan yang kosong serta drum yang kompleks. Di Reggae kontemporer,
permainan drum diambil dari ritual Rastafarian yang cenderung mistis
dan sakral, karena itu temponya akan lebih kalem dan bertitik berat
pada masalah sosial, politik serta pesan manusiawi.
“Ngga asli Jamaika lho!”
Reggae
memang adalah musik unik bagi Jamaika, ironisnya akarnya berasal dari
New Orleans R&B. Nenek moyang terdekatnya, ska berasal berasal dari
New Orleans R&B yang didengar para musisi Jamaika dari siaran radio
Amrik lewat radio transistor mereka. Dengan berpedoman pada iringan
gitar pas – pasan dan putus – putusadalah interprestasi mereka akan
R&B dan mampu jadi populer di tahun 60an. Selanjutnya semasa musim
panas yang terik, merekapun kepanasan kalo musti mainin ska plus
tarinya, hasilnya lagunya diperlambat dan lahirlah Reggae. Sejak itu,
Reggae terbukti bisa jadi sekuat Blues dan memiliki kekuatan
interprestasi yang juga bisa meminjam dari Rocksteady (dulu) dan bahkan
musik Rock (sekarang). Musik Afrika pada dasarnya ada di kehidupan
sehari-hari, baik itu di jalan, bus, tempat umum, tempat kerja ato
rumah yang jadi semacam semangat saat kondisi sulit dan mampu
memberikan kekuatan dan pesan tersendiri. Hasilnya, Reggae musik bukan
cuma memberikan relaksasi, tapi juga membawa pesan cinta, damai,
kesatuan dan keseimbangan serta mampu mengendurkan ketegangan.

“It’s Influences”


Saat
rekaman Jamaika telah tersebar ke seluruh dunia, sulit rasanya
menyebutkan berapa banyak genre musik popular sebesar Reggae selama dua
dekade. Hits – hits Reggae bahkan kemudian telah dikuasai oleh bintang
Rock asli mulai Eric Clapton sampai Stones hingga Clash dan Fugees.
Disamping itu, Reggae juga dianggap banyak mempengaruhi pesona tari
dunia tersendiri. Budaya ‘Dancehall’ Jamaika yang menonjol plus sound
system megawatt, rekaman yang eksklusif, iringan drum dan bass, dan
lantunan rap dengan iringannya telah menjadi budaya tari dan tampilan
yang luar biasa. Inovasi Reggae lainnya adalah Dub remix yang sudah
diasimilasi menjadi musik populer lainnya lebih luas lagi.

EFEK REAGGE YANG MELANDA KITA..


. Dengan masih menggunakan seragam putih-abu, kami bertujuh menyambangi rumah Cunong, buat mendapatkan se-amplop ”Paket Hemat.” Enam linting, barang Aceh katanya, harganya cuman dua puluh rebu. Saya dan temen-temen yang sedang edan-edannya nyoba ini-itu, tanpa pikir panjang langsung menyiapkan subsidi buat menikmati paket barang haram itu. Rencananya, ”Paket Hemat” ini bakal kita nikmatin bareng-bareng di rumah salah seorang temen, di daerah Bandung Utara, yang kebetulan kosong ditinggal nyokap-bokap-nya berlibur.
Singkat kata, setelah melalui proses musyawarah apakah kami mengisap ”Paket Hemat” itu secara bergilir atau bagi rata masing-masing selinting, akhirnya kita sepakat untuk milih : Bagito alias bagi roto selinting-selinting. Jadi, satu orang satu linting. Waktu itu, sebut aja Mamen, yang mengalah untuk tidak mengisap ”Rokok Jah” yang wangi asap pertamanya mirip-mirip abu pembakaran Sate Kambing, yang biasanya bikin saya laper berat. Mamen khawatir gejala sakit nelen-nya bakal merembet jadi sakit tenggorokan, kalo ia nekat ngisep cimeng meskipun cuma sekali sedot.


Hisap demi hisap, kami berenam-pun mulai merasakan dampak rokok pemujaan kaum Rasta itu. Menurut Mamen yang hilang nafsu nyimeng-nya, saya dan keenam kawan mulai bercanda, berkata-kata jorok, makin sableng dan kemudian putus urat malu setelah Rokok Jah mulai nampak tinggal separuh. Ya, karena Teh Manis dan Rokok Jah Made In Atjeh yang kami hisap, sekumpulan siswa es-em-a, kelompok Jomblo Kronis keluaran Cimahi itu berubah jadi : Paguyuban Srimulat. Musik reggae, alunan vokal Bob Marley di lagu No Woman, No Cry, yang mengiringi kekonyolan kami berubah fungsi menjadi soundtrack adegan komedi.
Gawatnya, efek Rokok Jah gak berhenti cuma ketika kami seneng-seneng dan ngumpul di Dago Utara. Waktu kita-kita cabut dari rumah temen yang kosong ditinggal libur itu, menurut Mamen, kami masih berlagak bak Tarzan, Gepeng, Asmuni, Timbul lagi ngocol. Alhasil, dengan perasaan harap-harap cemas, Mamen-pun membimbing kelima sahabatnya yang teler pulang dengan angkutan kota menuju Cimahi City.
Mamen mengaku agak tenang, ketika kami berlima masuk angkutan kota dengan tertib, antri, gak seperti mahasiswa-mahasiswi UNPAD rebutan bis di Pangdam (Pangkalan Damri), Jatinangor. Lima menit angkot melaju, belum tampak keanehan. Namun ketika seorang ibu dengan tahi lalat besar memasuki angkot, Mamen mulai resah, sebab salah seorang dari kami tampak mulai nyaris kumat penyakit ”nyeletuk”-nya. Mamen takut, gara-gara celetukannya kami berlima kembali pada kondisi abnormal, seperti baru dia saksikan dalam keadaan sadar di Dago Utara beberapa waktu tadi.
Ketakutan Mamen-pun terjadi, salah seorang teman, sebut saja Kobel, tidak mampu menahan hasratnya untuk mengomentari sosok sang ibu. Dengan sedikit keras, bikin si ibu melirik sewot, Kobel nyeletuk,”Segede apa lalatnya, Men ?” Kami berlima yang sebelumnya sudah parah kerasukan arwah moyangnya Bob Marley kontan ketawa ngakak, ketawa bareng, dan nyaris gak bisa menahan geli yang terus mengocok-ngocok bagian abdomen dan kerongkongan. Saking over-acting-nya, sang kernet jadi ketakutan, dan pak sopir mengingatkan sang kernet dan membisiki penumpang yang duduk di depan,”Kade, ucing geuring. Eukeur Mabok…” (Awas, kucing sakit, lagi mabuk). Ya, setelah si ibu bertahi lalat itu, setiap penumpang yang naik menjadi bahan kelakaran kami. Bahkan ada seorang bapak setengah baya bertubuh Jack John, yang urung naek angkot menyaksikan lirikan kami yang ”psikedelik abis”. Untung aja, kata Mamen, gak ada polisi, tentara atau sejenis aparat yang kebetulan naek ke angkot yang kita tumpangi waktu itu. Kalo enggak, bisa-bisa kita semua digelandang ke Mapolres atau Garnisun, dengan dakwaan : mengganggu ketenangan dan ketenteraman orang lain. Wah, bakal susah deh ngurus Surat Kelakuan Baik.
Kejadian kontroversial itu saya ceritain lagi ke sepupu, pas kita lagi menikmati sore dibawah iringan ”Natural Mystic”-nya Bob Marley. Emang, buat rata-rata anak baru gede, Bob Marley identik ama Rasta a.k.a Ganja a.k.a Cimeng. Kalo mengidolakan Bob Marley, maka salah satu yang ditiru dari kebiasaannya adalah ritual ngisep cimeng. Kebiasaan musisi Jamaica bernama asli Robert Nesta Marley menghisap ganja itu, sebagaimana sudah menjadi konsensus umum, adalah sesuatu yang tabu dalam kultur Indonesia. Apalagi, kalau kita bicara soal religi, agama mayoritas di negeri ini yang juga saya anut : agama Islam. Barang-barang yang bikin teler itu jelas-jelas haram, dan punya efek melemahkan pikiran. Ya, sudahlah. Memang buat mereka yang memegang keyakinan Islam dan berusaha menjadi mukmin, kebiasaan Bob Marley menyedot cimeng adalah haram. Dilarang Allah dan Rasul-Nya. Titik. Apapun alasan kita waktu ngelakuinnya.
Diluar kebiasaannya menghisap cimeng, yang konon juga bagian dari ritual ibadah keyakinan yang ia anut, Rastafarian, Bob Marley adalah seorang seniman-musisi dan aktivis sejati. Saya menyadari hal tersebut, waktu saya mulai aktif ikut-ikutan diskusi politik, dan puncaknya ikut rapat-rapat dan aksi student movement tahun 1997-1998. Sekitar waktu-waktu tersebut, saya kenal ama beberapa orang kutu buku, orang yang ngaku proletar, dan mereka yang tertarik ama ide revolusioner. Salah seorang dari mereka, Martin, adalah pembaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dilarang beredar pas jaman Orba. Sama dia saya sering berdiskusi, karena ngerasa antik aja, ada orang muda yang capek-capek mikirin dampak kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya. Saya juga sering berkunjung dan nginep di kamar kontrakannya, yang penuh ama buku-buku sastra dan majalah-majalah tempo doeloe. Diantara rak koleksi buku dan majalahnya yang memuat tulisan-tulisan yang menyuntik semangat itulah, saya menemukan kaset-kaset Bob Marley. Lebih antik lagi, kaset-kaset tersebut bersanding dengan sebuah notes lepet, yang berisi penuh catatan lirik lagu-lagu pahlawan Jamaica dan proklamator musik reggae itu. Itulah pertamakalinya saya membaca tuntas beberapa lirik Bob Marley, diiringi album reggae paling fenomenal dalam sejarah musik, Legend (Greatest Hits of Bob Marley, 1984, terjual 12 juta kopi diseluruh dunia), dan album Exodus (1977) yang menampilkan akar musik reggae tradisional secara utuh.
Kalo jaman es-em-a denger Bob Marley lantas nyimeng, maka alhamdulillah, pas jaman mahasiswa waktu saya 22 tahun, abis dengerin lagu-lagunya- sambil menyimak lirik-lirik keren kayak di lagu Natural Mystic, The Heathen, Exodus, Jamming, Waiting in Vain dan One Love- saya bungkus cepet-cepet maknanya buat bekal di ”social movement” dan ”romantic movement” saya, yang mulai beranjak kearah lebih serius, lebih dewasa dan more positive ketimbang masa-masa sebelumnya. Jadilah beberapa lagu Marley sebagai soundtrack of my life, sepanjang taun-taun saya aktif di ”gerakan revolusi sosial” dan ”gerakan revolusi romantik” di masa transisi antara planet remaja dan dunia dewasa saya secara personal.
Sisi kesejatian Bob Marley sebagai ”real artist and musician”, salah satunya diindikasikan oleh keberhasilannya mengangkat musik reggae ke pentas dunia. Musik reggae kuat berakar dari musik tradisional Afrika dan Karibia. Reggae yang banyak diapresiasi ama khalayak dan diusung ama Marley saat ini, adalah perkawinan antara reggae dengan style R N’B, yang berkembang mulai tahun 1960-an. Selain ditopang oleh nuansa afro-caribbean music plus warna ritem en blues, secara instrumental reggae a la Marley ditunjang juga oleh perangkat yang lazim digunakan musisi jazz, yaitu : horn, saxophone dan trumpet

. Musisi yang memainkan musik reggae dan menggunakan ketiga instrumen tersebut, oleh orang-orang Jamaica dikenal juga sebagai pengusung aliran Ska. Dalam beberapa kesempatan, Bob Marley bilang musiknya sebagai Roots Reggae. Apaan tuh Roots Reggae ? Roots Reggae dikenal sebagai subgenre dari reggae, yang secara tematik baik lirik maupun musiknya mendeskripsikan masalah-masalah yang menimpa di perkampungan orang kulit hitam (ghetto). Lirik-liriknya menggulirkan masalah kemiskinan, isyu sosial, perlawanan kepada rezim yang menindas, deportasi imigran gelap dan filosofi rastafari. Secara konsisten Bob Marley meramu akar musik, pengaruh luar dan bahan lirik lagu-lagunya itu, sehingga khalayak dunia dapat menikmati musik reggae yang notabene tradisional Jamaica, sembari menyelami apa yang disuarakan lewat lirik-liriknya. Marley berhasil memperkenalkan jatidiri asli melalui musik asli tanah kelahirannya, berhasil menyuarakan apa yang hendak disampaikannya kepada khalayak dunia, dan ujung-ujungnya dunia-pun mengapresiasi karya Marley dan mengambilnya sebagai ilham perubahan. Bob Marley mampu menyampaikan ide secara luas, menjadi populer sebagai musisi, tanpa harus tercerabut dari akar dan menyuarakan sesuatu yang tidak murni dari hatinya. Itulah jawaban : mengapa Bob Marley layak digelari seniman-musisi sejati ?, selain kenyataan bahwa Bob Marley memilih untuk bekerja dan meninggalkan bangku sekolah, demi pembiayaan dan menuntaskan ambisinya : total bermain musik.
Sisi kesejatian Bob Marley sebagai aktivis, terkait erat dengan pengertian harfiah dari kata aktivis sendiri, yaitu : pejuang. Pejuang sebagai individu, bukan pejuang yang bernaung dibawah suatu lembaga. Ya, secara personal Bob Marley adalah pejuang. Dan sisi kepejuangannya ini terpupuk dari kondisi memprihatinkan yang mesti dia jalani, semenjak ia terlahir ke bumi ini sebagai anak blasteran kulit putih dan negro. Dia lahir pada tanggal 6 Februari 1945, dari rahim Cedella Booker, seorang wanita kulit hitam, yang dinikahi seorang Kapten Marinir Jamaica keturunan Inggris, Norval Sinclair Marley, pada saat berusia 18 tahun. Marley kecil jarang banget ketemu bapaknya yang bule, meskipun masih ditunjang secara finansial, karena sang ayah sering banget bepergian dalam rangka tugasnya. Tahun 1955, pas si Bob nyampe usia 10 tahun, Norval sang ayah meninggal dunia. Perlakuan rasis terhadap dirinya makin menjadi-jadi, disebabkan oleh darah campuran yang mengalir dalam tubuhnya. Sepeninggal ayahnya, Bob Marley dan Cedella Booker pindah ke Kingston’s Trenchtown, ibukota dan kota terbesar di Jamaica, dari desa kelahirannya, Saint Ann Parish. Disitulah Marley belajar mempertahankan diri, ketika dia kerap menjadi sasaran gertakan sebab sentimen rasial dan postur tubuhnya yang mungil (tinggi 163 cm). Mengenang saat-saat sulitnya di Kingston’s Trenchtown, Bob Marley pernah berkata, ”My father was white and my mother black, you know. Them call me half-caste, or whatever. Well, me don’t dip on nobody’s side. Me don’t dip on the black man’s side nor the white man’s side. Me dip on God’s side, the one who create me and cause me to come from black and white, who give me this talent.” Serba salah memang. Di kalangan orang item ditolak karena dianggap putih, di kalangan orang putih dihina karena dianggap item. Marley merefleksikan pengalaman pahit masa kecil dan masa remajanya, dan menghimbau dunia untuk senantiasa menyimak kesamaan dan menafikan perbedaan, lewat lagu One Love/People Get Ready. “One love, one heart/Let’s get together and feel all right/Hear the children crying (One love)/Hear the children crying (One heart)/Sayin’, “Give thanks and praise to the Lord and I will feel all right.”/Sayin’, “Let’s get together and feel all right.”
Dari pengalaman Bob Marley itu, saya memahami, bahwa hal paling tidak enak di dunia ini adalah merasa berbeda dan dibedakan oleh orang lain. Waktu saya mulai merasa berbeda dari orang lain saya akan merasa minder, waktu saya mulai membedakan orang lain maka mulailah saya merasa, bebas bersikap apa saja tanpa memerhatikan ”yang dibedakan” terganggu atau tidak. Maka, semenjak masa-masa apresiasi saya atas materi-materi Bob Marley di kamar Martin itu, saya selalu berusaha gak membedakan : suku, usia, strata, temen-temen sepergaulan saya. Kalo ada yang boleh menjadi pembeda hanyalah : benar atau salah, sesuai konsensus universal yang logis.
Sisi kesejatian Bob Marley sebagai seniman-musisi dan pejuang itulah, yang sebetulnya bisa jadi bahan buat up-grading diri. Bukan sisi dia sebagai penikmat ganja belaka, yang perlu dicangkok dalam attitude seorang penggemarnya. Kalo sisi dia sebagai pe-nyimeng aja yang sampe dijadiin bahan untuk pengayaan attitude diri, paling-paling sang fanatikan cuma sampe di teler atau sukses jadi gerombolan ketawa-ketiwi, yang dibenci penumpang dan awak angkutan kota. Bener apa yang pernah dinasehatkan sahabat saya Mamen,

”Niru Bob Marley teh lain niru gimbal jeung nyimengna wungkul atuh…”(Niru Bob Marley jangan cuman niru gimbal ama ngeganjanya doang dong), beberapa hari setelah kejadian memalukan usai pesta rasta

|